Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Melongok "Kampuang Cino" dan Jejak PK Ojong di Payakumbuh

1 Januari 2018   16:51 Diperbarui: 1 Januari 2018   22:09 3644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah masa kecil P.K. Ojong (dok. sumbarhebat.com)

Di kota-kota besar di dunia, gampang ditemukan kawasan China Town, atau area tempat penduduk berdarah Tionghoa menetap. Di Indonesia hal tersebut disebut dengan pecinan. Khusus di Sumatera Barat disebut dengan Kampuang Cino.

Saya tidak tahu pasti di kota mana saja di Sumbar yang ada kampuang cino-nya. Yang jelas di tiga kota terbesar di Sumbar (Padang, Bukittinggi, dan Payakumbuh) terdapat kampuang cino.

Sebagai anak yang lahir dan sampai menamatkan sekolah menengah di Payakumbuh, tentu saya masih ingat bahwa di kawasan Lundang, Kecamatan Payakumbuh Barat, disebut juga kampuang cino. Kawasan ini mencakup Jalan Jakarta, Jalan Sutan Usman, Jalan Gambir, dan Jalan Tembakau. 

Meski relatif sering pulang ke kampung, sudah lama sekali saya tidak melongok dalam arti mengamati ke kampuang cino. Memang lokasinya termasuk kawasan pusat kota, tapi tidak melintasi Jalan Sudirman, jalan negara yang menghubungkan Padang sebagai Ibu Kota Provinsi Sumbar dan Pekanbaru, Ibu Kota Provinsi Riau. 

Bermula saat pulang kampung di awal Desember 2017 untuk menghadiri resepsi pernikahan seorang famili, selesai acara, saya bertanya pada keponakan saya, di mana soto yang enak. Seingat saya, waktu saya sekolah dulu, soto yang enak di Payakumbuh adalah Soto Minang Asli, Soto Surabaya, dan Soto Wir.

Ternyata sejak beberapa tahun terakhir ini, soto paling ramai pengunjungnya adalah Soto Che yang terletak di Jalan Sutan Usman, dan itu termasuk kampuang cino. Namun saya kaget juga yang memiliki kedai soto ini bukanlah keturunan Tionghoa (tadinya dari namanya saya pikir masih berbau Tionghoa), tapi orang asli Payakumbuh yang lama merantau di Jakarta, lalu kembali berusaha di Payakumbuh.

Nah, dari lantai dua kedai soto itu, sambil menunggu pesanan datang, dan kemudian lebih jelas lagi dari lantai tiga saat saya menumpang shalat di mushala kedai tersebut, saya melongok ke beberapa arah. Kepadatan daerah tersebut sebagai pusat bisnis, terutama grosir sembako dan hasil bumi, masih terlihat.

Namun, wajah toko yang sekaligus berfungsi sebagai rumah khas Tionghoa sudah jauh berkurang. Banyak yang sudah berganti ruko ala masa kini. Saya merasa ada sesuatu yang hilang, meski di sebagian toko masih terlihat gaya Tionghoanya.

Saat pulang ke rumah, sengaja saya melewati Jalan Jakarta, tidak lewat Jalan Sudirman, agar lebih jelas bagaimana kondisi kampuang cino saat ini. Tapi memang sudah banyak sekali perubahan dan berbeda dengan kenangan masa kecil saya. 

Saat itu hampir setiap hari sewaktu sepulang sekolah dan sehabis makan siang di rumah, saya ke kedai bapak saya (lebih tepatnya kedai yang disewa bapak saya) menyusuri jalan tersebut, agar bapak dapat pulang sebentar ke rumah, dan tugas menjaga kedai diserahkan ke saya.

Ruko gaya masa kini di pecinan Payakumbuh (dok.pribadi)
Ruko gaya masa kini di pecinan Payakumbuh (dok.pribadi)
By the way, saya adalah pembaca setia Kompas, karena bapak saya berlangganan koran terbesar se nasional ini sejak tahun 1970-an. Coba perhatikan judul "Kompas" di halaman muka. Di sudut kiri tertulis "Harian Untuk Umum, Terbit Sejak 28 Juni 1965, Pendiri: P. K. Ojong (1920-1980),....dan seterusnya". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun