Saya teringat kata bapak saya bahwa P. K. Ojong adalah keturunan Tionghoa yang lahir dan bersekolah di Payakumbuh. Saya mencoba mencari jejak rumah kelahirannya, dan karena keterbatasan waktu, tidak bertemu. Justru dari beberapa situs online, saya mendapat foto rumah masa kecil P. K. Ojong, yang berlokasi di Jalan Jakarta nomor 66.
Kalau saja Kelompok Kompas Gramedia berniat membangun semacam museum dengan merevitalisasi rumah tersebut, tentu akan menguntungkan buat kota Payakumbuh. Bisa menjadi obyek wisata pendidikan, tidak saja bagi bagi penduduk lokal, tapi juga bagi wisatawan dari luar kota. Sekarang, beberapa obyek wisata di sekitar Payakumbuh, khususnya Lembah Harau dan Jembatan Kelok Sembilan, terbilang dikenal luas.
Payakumbuh juga sangat berarti bagi seorang penulis yang amat rajin mem-posting tulisannya di Kompasiana. Beliau sudah tidak muda lagi, tapi dedikasinya amat tinggi dengan rutin mengangkat tulisan yang bertema memberikan motivasi kepada pembacanya. Beliau adalah Tjiptadinata Effendi yang beberapa kali menulis bahwa kampung orang tuanya adalah di Payakumbuh. Artinya, beliau juga bagian dari komunitas peranakan Tionghoa Payakumbuh.
Saya cari lagi informasi lainnya, tapi tidak begitu jelas kapan sejarah kampuang cino di Payakumbuh bermula. Yang jelas, di tahun 1940-an jumlah warga keturunan Tionghoa pernah tercatat sekitar 2.000 orang dari sekitar 10.000 penduduk di kota itu.
Entah kenapa, jumlah itu menyusut. Sekarang dengan penduduk sekitar 150.000 jiwa, hanya ada sekitar 1.000 orang keturunan Tionghoa. Banyak yang merantau seperti P. K. Ojong yang menjadi penduduk ibukota sampai akhir hayatnya, atau seperti Tjiptadinata Effendi yang berdiam di Perth, Australia.
Sebetulnya pembangunan di Payakumbuh terbilang maju. Tapi memang secara umum perekonomian di provinsi tetangga, Riau, jauh lebih maju lagi ketimbang Sumbar. Dugaan saya, banyak juga keturunan Tionghoa dari Sumbar, termasuk Payakumbuh, yang pindah ke Riau.
Mudah-mudahan di hari-hari tertentu, penduduk Payakumbuh masih menikmati permainan barongsai seperti yang pernah saya lihat di waktu kecil. Pemain barongsai ini sering pula saya lihat saat latihan di halaman sebuah gedung yang yang ada tulisan "Himpunan Tjinta Teman" di depannya. Sekarang gedung itu sudah berganti ruko masa kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H