Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Acara Adat dan Nilai Gotong Royong

26 November 2017   10:16 Diperbarui: 26 November 2017   10:17 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prosesi acara adat perkawinan putri Presiden Joko Widodo, Kahiyang Ayu, dengan Bobby Afif Nasution, menjadi tontonan menarik bagi masyarakat. Bagi yang tidak melihat langsung acara tersebut, beruntung sekali karena ada beberapa stasiun televisi yang menayangkan siaran langsung. Setelah di awal November lalu dilaksanakan rangkaian perkawinan adat Jawa di Solo, kemaren dan hari ini (25 dan 26 November 2017), giliran adat Mandailing yang digelar di Medan.

Ternyata acara demi acara begitu berwarna, meriah, dan sarat makna yang mengandung nilai-nilai filosofis. Bahkan Kompas (26/11) menyebutnya sebagai perkawinan yang merajut nusantara. Acara tersebut seperti menyadarkan kita kembali betapa kayanya budaya beragam suku yang mendiami tanah air tercinta ini. Amat sayang bila kekayaan itu tidak dirawat. Presiden Joko Widodo jelas punya perhatian yang besar atas kelestarian budaya ini, karena di acara lain pun beliau sering memakai baju adat dari berbagai daerah.

Tulisan ini tidak bermaksud membahas acara pernikahan Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution. Justru pada berbagai resepsi perkawinan secara umum di negara kita, khususnya pada masyarakat perkotaan, harus diakui telah terjadi penyederhanaan acara adat yang malahan bisa mengaburkan makna filosofisnya.

Sewaktu saya masih punya "posisi" di sebuah BUMN, saya relatif sering mendapat undangan pernikahan, baik dari rekan kerja yang menikahkan anaknya, maupun dari relasi kantor. Sejak pensiun setahun yang lalu, undangan seperti itu jauh berkurang, meski sesekali masih ada. Saya amat paham, undangan memang berkorelasi dengan jabatan. Maksudnya, banyak yang diundang karena jabatannya, bukan karena orangnya. 

Setiap menghadiri resepsi pernikahan, saya datang lebih awal agar lebih di depan dalam barisan antrian untuk memberikan ucapan selamat kepada penganten, meski sering disela oleh pejabat tinggi yang begitu datang diberi akses memotong jalur antrian. Dengan datang cepat, risiko kehabisan makanan juga bisa dihindari. 

Namun tujuan saya yang utama untuk datang cepat adalah ingin menikmati prosesi adat yang disuguhi dari awal. Makanya setiap ada undangan, saya selalu meneliti dari suku mana pasangan penganten itu berasal, dan membayangkan acara adat mana yang akan dipakai. Walaupun yang menikah kebanyakan sudah kelahiran Jakarta dan bergaya hidup anak gaul ibukota, sewaktu menikah mereka kembali ke khittahnya, menggunakan adat kedua orang tuanya. Kalau orang tuanya kelahiran Jakarta juga, berarti mengacu ke adat nenek moyangnya. Artinya semua kita pasti punya suku, dan otomatis pasti punya adat.

Hanya saja, resepsi pernikahan zaman sekarang dilakukan dengan cara yang praktis dan dalam waktu yang amat terbatas, karena dilakukan di gedung yang disewa sesuai durasi pemakaiannya. Akibatnya acara adat yang ditonjolkan justru bukan yang intinya, dan lebih sekadar atribut berupa pakaian yang dikenakan penganten dan riasan pelaminan . Mungkin ada sedikit tari-tarian dan musik tradisional serta pepatah petitih dalam bahasa daerah yang dilantunkan pembawa acara atau dalam kata sambutan. 

Rasanya saat ini sudah amat jarang acara perkawinan menggunakan  prosesi adat secara lengkap yang bisa memakan waktu sehari penuh, bahkan bisa dua sampai tiga hari. Di kampung-kampung sekalipun, paling tidak yang saya amati di kampung saya, Sumatera Barat, acara adat pun sudah dalam versi ringkas. Di kota kabupaten  sudah mulai marak acara resepsi di gedung, bukan di rumah yang punya hajat. 

Ada yang bilang bila memakai acara adat versi lengkap, sangat mahal biayanya. Ya, bisa jadi begitu. Tapi menurut saya itu terjadi karena praktik gotong royong di masyarakat kita yang mulai berkurang. Dulu, saat kakak-kakak saya menikah di tahun 80-an, dilakukan di rumah orang tua saya di kampung. Meskipun prosesi adat dilakukan secara relatif lengkap, namun tidaklah terlalu membebani orang tua saya yang tidak termasuk orang kaya. Beban menjadi ringan karena tetangga dan famili datang memberikan bahan makanan, ikut memasak, dan bantuan lainnya.

Dihadapkan pada kondisi seperti itu memang terasa dilematis. Bila ingin memakai adat, jatuhnya mahal dan tidak praktis. Makanya, suburlah praktik adat sebatas atribut dalam resepsi perkawinan berdurasi dua sampai tiga jam. Inipun harus kita syukuri karena artinya mengakui bahwa kita punya adat. Bila saja bila nilai gotong royong bisa ditumbuhkan kembali di tengah masyarakat, maka bukan hanya pejabat tinggi atau orang kaya yang mampu melakukan prosesi adat secara lengkap. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun