Kelihatannya pakar komunikasi perlu dilibatkan dan menggunakan semua saluran komunikasi, terutama media  sosial. Testimoni dari pengguna bahan bakar berkualitas tinggi sebaiknya  lebih sering dimunculkan. Demikian pula pendapat dari ahli otomotif, komunitas perbengkelan, para atlit balap mobil, dan sebagainya. Jika  pesan ini dibaca masyarakat bukan sebagai himbauan dari pemerintah, dan  juga bukan iklan layanan masyarakat dari Pertamina, maka diharapkan  hasilnya akan lebih nendang.
Kita tahu betapa efektifnya media sosial yang digunakan oleh pihak tertentu untuk hal-hal negatif seperti ujaran kebencian. Nah kenapa polanya tidak ditiru, tapi dengan konten  yang posisitf seperti merubah mindset konsumen dalam  menggunakan bahan bakar secara bijak. Dengan demikian, lama kelamaan akan terbentuk pemahaman yang benar di benak masyarakat.Â
Para  pengguna motor bisa diambil sebagai contoh. Sejak maraknya pengojek beraplikasi memakai bahan bakar jenis pertamax yang bermutu lebih baik  ketimbang premium, pengguna motor lainnya pun dengan sukarela move on dari premium. Lalu berkembanglah cerita dari mulut ke mulut bahwa dengan pertamax pemakaian bahan bakar lebih irit dan daya tahan spare part juga lebih lama, sehingga pengeluaran konsumen jadi lebih hemat.
Jika saja suksesnya pemakaian pertamax pada pengguna motor bisa diterapkan pula pada pengguna kendaraan roda empat, maka masyarakat secara umum akan meraih keuntungan, pemerintah dan Pertamina juga untung. Tentu ini  butuh waktu. Untuk itu, pemerintah diam-diam perlu punya batasan time frame-nya, misal selama satu tahun. Â
Bila setelah satu tahun masih gagal, dalam arti tidak ada perubahan signifikan dalam perilaku masyarakat dalam mennggunakan BBM, maka apa boleh buat, saatnya pemerintah harus tegas. Kebijakan harus diambil,  pilih yang terbaik dari beberapa alternatif yang ada, dan terapkan  dengan konsisten.
Tidak perlu berwacana lagi bila akhirnya harus  mengambil kebijakan yang beruba pil pahit bagi masyarakat. Pahit di awalnya, tapi akan menyembuhkan penyakit. Bila senantiasa menggulirkan wacana, sudah pasti yang namanya pro-kontra akan ramai sekali. Tapi  sepanjang telah melewati pengkajian yang mendalam dengan anggota tim  pengkajian merepresentasikan berbagai pihak, ya go saja.
Memang keputusan tentang bahan bakar selalu saja terkait dengan aspek politis. Maksudnya sih suci membantu masyarakat kelas bawah. Tapi selalu banyak penumpang gelap. Yang pakai premium tak sedikit mobil milik orang kaya. Maka salah satu pilihan yang layak dipertimbangkan adalah melepas harga  premium mengikuti harga keekonomiannya, dan memberikan subsidi langsung  dalam bentuk lain kepada masyarakat kelas bawah yang terpukul dengan  harga premium.
Apalagi Indonesia sudah berencana menerapkan  standar emisi Euro 4, yakni standar emisi kendaraan bermotor di Eropa.  Salah satu langkah persiapan yang harus dilakukan adalah kesuksesan  masyarakat pengguna BBM untuk  move on dari premium.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H