Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menguji Daya Tahan Marlina, Si Pembunuh dari Sumba

20 November 2017   06:27 Diperbarui: 20 November 2017   08:50 3749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seusai penayangan, hanya separo kursi yang terisi (dok. pribadi)

Usai sudah Festival Film Indonesia (FFI) 2017 di Manado. Pada malam puncak penganugerahan Piala Citra, 11 November lalu, Film Night Bus bersiang ketat dengan Pengabdi Setan. Night Bus menyabet enam penghargaan, termasuk Film Terbaik, sedangkan Pengabdi Setan meraih tujuh penghargaan kendati bukan untuk kategori film terbaik.

Kedua film di atas seolah menggambarkan sudah semakin tipisnya perbedaan film festival dengan film komersial. Maksudnya, dulu diakui atau tidak, terdapat dikotomi bahwa film yang menang di festival terkesan serius, idealis, dan mengajak penonton berpikir tentang kondisi sosial, budaya, sejarah, politik, atau topik lain yang digambarkan dalam film tersebut. Karenanya film beginian biasanya tidak laku di pasaran. Masyarakat kan maunya membeli tiket bioskop untuk dihibur, bukan diajak berpikir.

Sebaliknya film komersial biasanya ceritanya gampang ditebak, penuh kisah menjual mimpi, lucu-lucuan, atau sensasi horor yang menegangkan. Penonton berjubel, produser meraup laba, bintang film-nya jadi ngetop, tapi keok saat dibawa berlaga di berbagai festival. Padahal ukuran bermutu tidaknya sebuah film, ya di festival itu.

Nah, di FFI 2017 di atas, Night Bus adalah adalah gambaran film idealis yang jeblok di pasaran, Sedangkan Pengabdi Setan adalah film horor yang dibikin tidak asal jadi, dan sangat mempertimbangkan aspek sinematografi. Barangkali saja ke depan, para produser dan sutradara film makin sering saling belajar, sehingga bukan tidak mungkin akan semakin banyak film nasional yang bermutu sekaligus laku.

Terlepas dari FFI di atas, ada satu film nasional yang tidak ikut bertarung, tapi sudah menuai banyak pujian di beberapa festival film internasional. Film ini menjadi satu-satunya film dari Asia Tenggara yang terpilih untuk diputar di festival yang sangat bergengsi di Cannes, Perancis, Mei 2017 lalu.

Film tersebut karya sutradara muda Mouly Surya yang berjudul Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak (Selanjutnya ditulis Marlina).Setelah melanglang buana, akhirnya film ini pulang kandang untuk bisa dinikmati publik sejak 16 November lalu. Seberapa besar dampak berita apresiasi yang diterima Marlinadi Perancis itu akan terjawab dengan seberapa lama tahannya di layar bioskop.

Kalau melihat hanya sebelas dari puluhan bioskop di ibukota yang memutar Marlina, terlihat ada kesan pesimis dari pihak manajemen bioskop. Tapi bila sambutan publik  luar biasa, maka bisa saja ada penambahan jumlah layar bioskop yang memutar. 

Saya yang menonton pada hari ke 4 (Minggu 19/11) di sebuah bioskop di Jakarta Selatan, melihat animo yang sedang-sedang saja. Bioskop hanya terisi separo. Tapi saya melihat ekspresi kepuasan dari banyak penonton termasuk  dari komentar mereka yang sempat saya dengar. 

Betapa tidak. Penonton pasti terpukau dengan keindahan padang rumput yang amat luas di Sumba yang muncul hampir sepanjang film. Tapi memang penonton diajak merenung, karena di balik keindahan itu, masyarakat Sumba digambarkan masih hidup dalam kondisi yang amat memprihatinkan.

Gubuk  yang menjadi tempat tinggal, kuda dan truk tua yang menjadi alat transportasi umum, ketiadaan biaya untuk menguburkan jenazah sehingga menjadi mumi di rumah gubuk, mungkin bisa menjadi indikator tingkat perekonomian yang masih rendah. Dan yang parah, kaum lelaki merasa berkuasa merampas hak-hak wanita.

Itulah yang dialami Marlina, yang diperankan secara apik oleh Marsha Timothy. Ia yang tinggal sendiri setelah ditinggal mati anak lelakinya yang telah dikubur dan suaminya masih dimumikan di gubuk tempat tinggalnya, didatangi segerombolan lelaki yang mengambil binatang ternak milik Marlina. Satu di antaranya, Markus (diperankan Egi Fedly), memperkosa Marlina.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun