Beberapa media daring pada hari Rabu (15/11) memberitakan bahwa Dahlan Iskan telah melego sahamnya di Jawa Pos, koran terbesar di Jawa Timur dan punya banyak "anak-anak"-nya berupa koran lokal di banyak kota di Indonesia. Dahlan Iskan, figur yang berhasil melambungkan koran yang dulu sempat dalam keadaan sekarat tersebut, dikabarkan menjual sahamnya kepada Ciputra, salah satu konglomerat tanah air yang lebih dikenal sebagai pebisnis di bidang properti.
Namun sebetulnya Ciputra bukanlah orang baru di bisnis media cetak. Ia juga salah satu pemegang saham di Majalah Tempo dan koran Bisnis Indonesia. Adalah Majalah Tempo yang menyelamatkan Jawa Pos di tahun 1982, karena pemilik lamanya The Chung Shen sudah pesimis melihat oplah koran yang terbit sejak 1949 tersebut turun drastis. Ketika itu koran Surabaya Post menjadi koran terbesar di jawa Timur.
Ciputra, dan juga bos-bos Tempo lainnya, Eric Samola dan Goenawan Mohamad karena sehari-hari berdomisili di Jakarta, menyerahkan pengelolaan Jawa Pos kepada  Dahlan Iskan yang saat itu adalah Kepala Biro Jawa Timur di struktur redaksi Tempo. Tangan dingin Dahlan-lah yang berjaya menyulap Jawa Pos mampu tampil ciamik, dan segera merebut hati pembaca. Jawa Pos, bersama Kompas menjadi harian terbesar di Indonesia.Â
Akhirnya, berlaku hukum timbal balik. Dahlan membesarkan Jawa Pos, dan Jawa Pos juga membesarkan Dahlan. Sampai-sampai Dahlan tergiur bermain di arena politik. Dahlan sempat menjadi Direktur Utama PLN dan Menteri BUMN. Meski belakangan ini Dahlan sempat juga tersangkut kasus pelepasan aset milik Pemda Jatim, tapi sekarang Dahlan sudah berstatus bebas.
Kalau memang Dahlan melego Jawa Pos, sebetulnya logis juga. Jawa Pos masih dalam posisi koran papan atas nasional dan kinerjanya masih bagus. Tentu harga sahamnya masih mahal, dan sangat cukup untuk dialihkan Dahlan ke investasi lain yang lebih prospektif. Sementara industri media cetak konvensional dianggap sudah memasuki usia senja, dihajar media daring. Bahkan secara global sudah banyak koran yang tutup.Â
Jadi, Dahlan jeli dalam menerapkan prinsip ekonomi, menjual ketika harga bagus dengan prediksi nantinya harga akan turun dan membeli  ketika harga murah dengan prediksi ke depan akan naik. Ini mirip dengan strategi kelompok bisnis Sampoerna, produsen rokok legendaris Dji Sam Soe, yang melego perusahaan rokoknya ke Phillip Morris. Rokok menurut banyak pengamat sudah termasuk dalam kelompok sunset industry, mengingat gencarnya kampanye anti merokok dimana-mana.
Kasusnya sangat berbeda dengan saat Astra terpaksa dilego oleh William Soerjadjaja untuk menutupi utang bank yang dibangun anaknya Edward Suryajaya. Bank Summa milik "sang pangeran"Â collapse di tahun 1990, dan Astra yang merupakan perusahaan otomotif yang didirikan William dari berukuran kecil sampai jadi berkelas internasional, dilepas pada tahun 1992.
Kembali ke soal Jawa Pos, publik kemudian dapat berita bahwa ternyata, baik Ciputra, maupun Dahlan, membantah adanya jual beli saham tersebut. Dahlan disebutkan merasa tersinggung, karena anaknya Azrul Ananda, yang sekarang adalah orang nomor satu di manajemen Jawa Pos disebut-sebut akan diganti oleh putranya Goenawan Mohamad, Hidayat Jati. Penyebabnya, antara lain sepak terjang Jawa Pos dalam mendanai klub sepakbola kebanggaan para bonek, Persebaya, telah menimbulkan pro-kontra di internal Jawa Pos.
Sampai di sini, publik mungkin masih bingung. Kelihatannya antar para putra mahkota, di samping putranya Dahlan dan putra Goenawan, juga ada anak dari Eric yang ikut bergonjang-ganjing. Kita tunggu saja, bagaimana keputusannya pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Jawa Pos yang direncanakan berlangsung pada tangal 24 November 2017 mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H