Mencermati perkembangan media massa, banyak pakar yang berpendapat bahwa saat ini sebagai masa senja kala bagi media cetak konvensional seperti koran dan majalah karena digempur oleh media digital. Masuk akal juga sih. Tapi kenyataannya di negara kita, meski mungkin dengan oplah yang makin berkurang, koran-koran papan atas masih diburu pembacanya.
Tidak salah pula bila banyak perusahaan masih setia beriklan di media cetak. Tentu sudah ada hitung-hitungannya kenapa sebuah perusahaan berani menghabiskan anggarannya sebesar ratusan juta rupiah atau bahkan sampai milyaran rupiah, agar produknya terpampang di koran dengan nama besar, sekelas "Kompas".
Kebetulan saya pembaca setia Kompas, dan sejak beberapa bulan terakhir ini mendapati iklan dari suatu perusahaan di bidang properti, yang berani memasang iklan sampai 5 halaman agar dapat meng-capture  secara luas gambaran dari sebuah "kota baru" yang lagi dibangunnya. Apartemen di kota baru tersebut terlihat berada di lingkungan yang sangat asri dan nyaman. Pokoknya, kata iklan tersebut, menjadi idaman semua kalangan masyarakat.
Saya tidak ingin mengulas lebih jauh tentang iklan properti tersebut. Meskipun saya pernah kuliah di Fakultas Ekonomi, saya belum bisa mencerna seperti apa cost-benefit analysis-nya sehingga ada perusahaan properti yang berani beriklan demikian "gila" dan itupun dipasang berturut-turut dalam beberapa hari.
Tapi sebuah iklan dua halaman penuh di Kompas hari ini (3/11) langsung menggairahkan semangat saya buat menulis di Kompasiana. Ada dua hal yang menjadi concern saya. Pertama, ini iklan bukan tentang produk dari suatu perusahaan, tapi ucapan selamat bahwa sebuah perusahaan mendapat kredit (baca: utang). Dapat utang kok dibangga-banggakan?
Ya, kita boleh berbeda pendapat tentang hal ini. Namun, dari kacamata ekonomi, mendapat kredit berarti mendapatkan kepercayaan. Mendapatkan kepercayaan berarti yang menerima kredit dinilai punya reputasi tinggi dan dipandang mampu mengembalikan kredit tersebut. Mengutip narasi pada iklan dimaksud, Perusahaan Listrik Negara (PLN) disebutkan mendapat kredit sebesar Rp 16,3 triliun dari sejumlah bank konvensional dan juga bank syariah.
Bank-bank yang mengucurkan kredit bukan dari bank milik negara saja, yang notabene sesama BUMN dengan PLN, tapi juga dari bank swasta terbesar di negeri ini, Bank Central Asia (BCA). Ada juga bank asal Malaysia, Maybank, yang ikut sebagai anggota konsorsium pemberi kredit. Artinya, tentu bank-bank tersebut telah membuat kajian secara matang dan komprehensif sampai menghasilkan kesimpulan bahwa PLN layak dipercaya untuk menerima fasilitas kredit.Â
Pastilah hubungan bisnis antara debitur (PLN) dengan kreditur (konsorsium bank pemberi kredit) bersifat win-win. PLN beruntung karena mendapat dana untuk mewujudkan rencana raksasanya membangun pembangkit listrik sebesar 35.000 MW, sedangkan bank-bank akan menuai untung dari pengembalian kredit beserta bunganya (bagi bank umum) atau beserta bagi-hasilnya (bagi bank syariah).
Concern saya yang kedua adalah, kenapa hal tersebut harus diiklankan sampai menggunakan space dua halaman koran? Kebetulan atau tidak, beberapa hari sebelumnya memang sempat beredar berita adanya polemik tentang kondisi keuangan PLN. Bahkan seorang Menteri Keuangan, Sri Mulyani, merasa perlu mengingatkan PLN agar waspada terhadap risiko kegagalan membayar utang-utangnya. Namun Direktur Utama PLN, Sofyan Basir menyebutkan bahwa kondisi keuangan perusahaan masih mumpuni.
Hal itulah barangkali yang menjadi alah satu dasar pertimbangan kenapa PLN memasang iklan yang relatif berbiaya mahal tersebut. Kalau hanya sekadar sosialisasi ke masyarakat, toh masih ada teknik lain yang jauh lebih murah seperti mengirim press release ke sejumlah media massa, atau mengadakan press conference alias jumpa pers.
Nah tentang iklan utang itu tadi, bisa jadi akan menimbulkan polemik baru. Yang kontra akan mengatakan kok PLN "buang uang" dengan iklan besar tersebut, padahal harusnya banyak berhemat agar perusahaan bisa beroperasi dengan efisien. Sebaliknya, yang pro berpendapat bahwa citra positif perusahaan karena beriklan secara besar-besaran, nilainya jauh lebih besar dari biaya iklan yang dikeluarkan.