Harus diakui, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, pembangunan infrastruktur di negara kita dipacu sekencang-kencangnya, meskipun kondisi keuangan negara dari sisi penerimaan pajak masih belum memenuhi target. Jalan tol adalah salah satu infrastruktur yang sedang digenjot. Insya Allah, impian untuk menghubungkan jalan bebas hamabatan dari Jakarta ke Surabaya dapat terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Sekarang saja dari Jakarta, jalan tol telah tersambung sampai ke kota Brebes di jalur utara pulau Jawa, dan ke Cileunyi di jalur selatan. Sejak kehadiran jalan tol tersebut, perjalanan dari Jakarta ke Bandung atau ke Cirebon, menjadi relatif lancar. Hal ini turut berkontribusi pada peningkatan jumlah hotel, restoran, dan toko souvenir atau oleh-oleh di kedua kota tersebut.
Keberadaan rest area atau tempat peristirahatan di sepanjang jalur tol menjadi kebutuhan yang mutlak, agar perjalanan tidak melelahkan dan kebutuhan pelintas akan bahan bakar kendaraan, makanan, ke toilet, dan beribadah, bisa terpenuhi. Bahkan kalau rest area-nya luas, bersih, nyaman, dan banyak kios yang menjual berbagai kebutuhan, banyak pelintas yang betah berlama-lama di sana. Jadi rest area bukan lagi sekadar tempat singgah untuk 10 sampai 15 menit, tapi bisa sengaja untuk ngopi bareng sambil menyantap cemilan. Rest area yang asyik-asyik itu banyak terdapat sepanjang ruas tol Jakarta-Bandung dan sebaliknya.
Oke, mulai dari jalur Jakarta-Bandung, rest area pertama akan dijumpai di KM 19. Inilah rest area yang lumayan luas dengan berbagai bangunan berbentuk kotak-kotak seperti peti kemas. Karena sekarang ada pembangunan proyek kereta api ringan di sisi jalan tol  yang mengakibatkan kemacetan dari km 5 sampai 20, maka banyak pelintas yang kebelet yang langsung mencari toilet di KM 19.Â
Kemudian banyak sekali truk besar yang memuat peti kemas dari Tanjung Priok menuju pabrik-pabrik di sekitar Cikarang dan Karawang, juga berhenti di KM 19. Akibatnya rest area ini relatif padat pengunjung dan mungkin sedikit kurang nyaman bagi yang ingin santai. Tapi ada beberapa hal menarik di sini, di samping bangunan kiosnya yang bertemakan peti kemas itu tadi, ada pula sebuah truk panjang yang disulap jadi mini market.
Kalau ingin ke masjid, secara kasat mata tidak akan kelihatan, karena masjidnya yang sebetulnya amat luas berada di lantai 2 sebuah bangunan "peti kemas" yang paling besar. Sedangkan di lantai 1-nya ada puluhan kios. Masjid ini bisa menampung ratusan jamaah. Bagi yang tidak membawa perlengkapan salat, jangan kawatir. Di pintu sebelum masuk masjid, ada lemari tempat penyimpanan kain sarung, sajadah, mukena, dalam jumlah yang memadai dan dalam kondisi bersih.
Sepertinya pendanaan masjid cukup kuat karena ditopang oleh banyak sekali pemilik kios di sana yang diberkahi rezeki dari melimpahnya pengunjung. Kalau sudah seperti ini, agak sulit menganalisis, apakah karena kios-kiosnya menarik sehingga para pengunjung singgah berbelanja, lalu sekalian mereka ke masjid, atau karena masjidnya yang menarik, membuat pelintas datang berkunjung dan sekalian berbelanja. Ibarat ayam dan telor saja, mana yang duluan ada?
Sehabis dari KM 57, sebelum memasuki Bandung masih terdapat dua rest area lagi di KM 72 dan 88. Kedua rest area ini relatif tidak seramai yang sebelumnya. Tapi ada bangunan menarik yang kontruksinya dibangun miring di gerbang masuknya. Karena agak sepi, justru malah asyik bagi yang ingin santai sejenak sambil minum kopi. Toh toilet dan masjidnya juga bersih. Meski tidak begitu luas, pengunjung tidak sulit mencari tempat parkir.
Bagi yang membawa kendaran pribadi, dan ada kebutuhan biologis untuk buang air, sebaiknya berhenti di KM 88. Soalnya jarak ke Bandung masih sekitar 40 km dan tidak ada rest area lagi. Berbeda dengan jalur sebaliknya, dari Bandung ke Jakarta, ada rest areadi KM 98 dan 125. Di hari Sabtu-Minggu, banyak pula orang yang bersalin pakaian di KM 88 ini. Biasanya mereka yang akan menghadiri acara tertentu di Bandung, seperti resepsi pernikahan, berganti baju kaos dengan batik, dan berganti sandal dengan sepatu, ya di sini.