Sebagai warga ibu kota sejak tahun 1986, tentu saja saya telah sering ke kawasan Puncak Bogor, sebuah kawasan sepanjang lebih kurang 80 km dari Ciawi di Kabupaten Bogor sampai di Cipanas, Kabupaten Cianjur. Ya, Puncak adalah kawasan wisata pegunungan terdekat dari ibu kota, sehingga selalu ramai setiap hari libur.Â
Banyak yang bilang Puncak saat ini tidak lagi berhawa dingin, tidak lagi hijau, karena  menjamurnya ruko, vila, hotel, wisma, pusat perbelanjaan, restoran, training center atau pusdiklat dari berbagai lembaga dan perusahaan, dan bangunan lainnya. Namun ternyata Puncak masih menjadi magnet bagi warga ibukota untuk berakhir pekan. Bahkan semakin banyak saja didirikan obyek wisata tematik. Sampai-sampai pabrik coklat pun diminati wisatawan.
Bahwa dulu di tahun 2005, saat baru dibukanya jalan tol Jakarta - Bandung, yang membuat lalu lintas warga Jakarta yang mau ke Bandung atau sebaliknya tidak lagi melewati Puncak, banyak yang menduga Puncak bakal sepi, ternyata dugaan itu meleset. Buktinya sampai sekarang jalur Puncak identik dengan macet parah.Â
Bahkan wisatawan asing, khususnya dari berbagai negara di Timur Tengah, makin banyak yang jatuh cinta dengan Puncak, sehingga melahirkan istilah Kampung Arab, tempat mereka mengelompok di vila-vila yang berdekatan di sekitar Cisarua dan Ciloto. Tak heran kalau toko-toko di sini memasang tulisan dalam huruf Arab, di samping huruf Latin.
Jadi, bagi warga ibukota yang mau ke Puncak di hari libur, jangan ngedumel menghadapi kemacetan. Nikmati saja. Bersiaplah untuk menghabiskan waktu 4 sampai 6 jam di jalan, karena ada sistem buka tutup. Yang dibuka hanya satu jalur saja secara bergantian setiap satu atau dua jam. Bila pas kebagian penutupan jalan, cari area parkir yang nyaman, manfaatkan untuk mencari restoran terdekat, sambil memandang ke arah pegunungan yang "ditumbuhi'' vila-vila itu.
Nah, meskipun saya relatif sering ke Puncak, kenapa baru sekarang saya terinspirasi buat menuliskannya di Kompasiana? Itu hanya gara-gara waktu hari Minggu tanggal 1 Oktober 2017 yang lalu, setelah menghadiri undangan pernikahan anak dari sahabat saya di sebuah restoran di Cipanas, pas balik ke Jakarta saya sempat singgah di sebuah masjid di Ciawi untuk menunaikan salat ashar.
Masjid yang yang bernama Harakatul Jannah ini sebetulnya sudah sekitar 10 tahun berdiri. Namun yang menarik sejak  setahun yang lalu telah selesai dibangun menara mirip Big Ben yang jadi ikon kota London di sayap kiri masjid. Keunikan lain masjid ini adalah pintu gerbangnya yang diberi atap rumah gadang khas adat Minang. Ada lagi ornamen Minang di pelataran masjid.
Untunglah Syahrul tidak tergiur dengan godaan mencari keuntungan finansial. Sekarang dengan berdirinya masjid dua lantai berikut delapan lantai bangunan menara, menjadi sarana bagi banyak orang untuk beribadah, untuk mendapat siraman rohani, sambil menikmati keindahan dan kenyamanan masjid.Â
Dengan kehadiran Masjid Harakatul Jannah, di samping sebelumnya ada Masjid Atta'awun yang juga punya desain unik, kawasan wisata Puncak yang selama ini citranya hanya untuk wisata alam dan kuliner, serta (mohon maaf) konon ada pula yang berbau negatif dengan praktek prostitusi terselubung, punya diversifikasi obyek wisata, yakni wisata religi.
Berikut beberapa foto yang berkaitan dengan tulisan di atas.