Wacana pemindahan ibu kota negara karena Jakarta sudah terlalu sumpek dan overload, sebetulnya adalah lagu lama, yang terkadang bergema cukup kencang, tapi juga cepat menghilang. Begitulah, beberapa bulan terakhir ini wacana tersebut mencuat lagi. Sepertinya kota yang dipilih menjadi tempat Presiden dan pejabat pusat berkantor  di masa depan, mengarah ke kota Palangka Raya, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah, sebagaimana yang dulu pernah direncanakan Presiden Soekarno.
Entah kapan rencana itu terwujud masih tanda tanya besar, mengingat dibutuhkan pengkajian yang matang dan tentu saja butuh dana yang sangat besar. Pilihan pada Palangkaraya lebih pada kondisi alamnya yang datar, ketersediaan lahan yang luas, bukan daerah rawan gempa bumi, dan secara geografis terletak di titik tengah NKRI.
Tapi diam-diam kota lain di Kalimantan juga berharap menjadi ibu kota RI. Kota tersebut adalah Balikpapan yang saat ini relatif lebih maju dan lebih berkembang ketimbang Palangkaraya. Bahkan dengan mengabaikan letak geografis yang tidak harus di posisi bagian tengah, ada kota lain di luar Kalimantan, yang pantas masuk bursa pencalonan ibu kota RI.
Ya, ibu kota negara tidak harus di tengah secara geografis. Kita lihat saja di Amerika Serikat, kota terbesarnya adalah New York, tapi ibukotanya adalah Washington. Baik New York maupun Washington, sama-sama terletak di bagian timur Amerika. Juga di Australia, kota terbesarnya Sydney, dan ibukotanya Canberra juga terletak di bagian timur, sangat jauh dari Australia Barat.

Pekanbaru tidak akan ditemukan pada peta di era kolonial. Kota yang sekarang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa serta berpenampilan sebagaimana layaknya kota metropolitan ini, baru muncul sejak maraknya pertambangan minyak di tahun 1960-an. Kebetulan kawasan Riau dianugerahi Tuhan dengan kekayaan alam yang banyak mengandung minyak. Meski minyak mulai redup sejak era tahun 2000-an, Pekanbaru tetap gemerlap berkat kelapa sawit yang menjadi lokomotif baru perekonomian Riau.
Tidak usah diperdebatkan potensi ekonomi Pekanbaru pada khususnya, atau Riau pada umumnya. Buktinya banyak korporasi atau BUMN besar yang sampai era 90-an menjadikan Padang (ibu kota Sumatera Barat) sebagai lokasi kantor wilayah yang membawahi operasi di wilayah Sumatera bagian tengah (mencakup 4 provinsi, yakni Sumbar, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi), sekarang memindahkannya ke Pekanbaru. Jangan heran kalau dilihat dari jumlah gedung jangkung baik berupa perkantoran, mal, hotel, dealer mobil, dan ciri-ciri kota metropolis lainnya, Pekanbaru adalah yang terunggul di Sumatera bagian tengah.

Ada kelebihan lain yang lebih spesifik, yakni dilihat dalam konteks budaya. Meskipun saat ini ada banyak suku yang berdomisili, terutama Minang, Jawa, Batak, Sunda,Tionghoa, dan tentu saja warga asli Melayu, Pekanbaru adalah ibu kota provinsi yang paling kuat memancarkan nuansa Melayu. Memang ada kota lain seperti Pontianak, Medan, Jambi, dan Palembang yang juga kental ke-melayu-annya, tapi "kiblat" budaya Melayu di negara kita adalah di Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Namun, kiblat Melayu di antara negara ASEAN, sering diklaim oleh negara serumpun Malaysia.
Jadi, saingan Pekanbaru adalah "saudara muda"-nya sendiri, yakni Tanjung Pinang, ibu kota Provinsi Kepualauan Riau. Hanya saja dalam konteks pencalonan ibu kota RI di masa datang, Tanjung Pinang sulit masuk nominasi karena terletak di pulau yang relatif kecil, Pulau Bintan. Kota lain di Kepulauan Riau, agaknya lebih layak, yakni Batam. Namun Batam yang hanya "selemparan batu" dari Singapura, juga kurang pas masuk nominasi ibu kota RI.
Pada zaman kolonial, sebetulnya suku Melayu mendapat posisi yang istimewa karena bahasanya dijadikan sebagai lingua franca atau bahasa yang dipakai dalam perdagangan antar suku seperti di pelabuhan, di pasar, dan sebagainya. Bahkan akhirnya semakin berkembang dengan terbitnya koran berbahasa Melayu dan novel-novel terbitan Balai Pustaka yang juga berbahasa Melayu. Akhirnya sudah menjadi kehendak sejarah bila saat Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, diikrarkanlah  pemakaian Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa yang berakar dari bahasa Melayu.

Bahkan kalau kita amati, dalam perkembangannya, bahasa Indonesia semakin banyak dipengaruhi bahasa Jawa, sehingga makin banyak pula perbedaannya dengan bahasa Melayu yang digunakan di Malaysia. Tapi pengaruh bahasa Jawa tersebut berlaku pada langgam bahasa formal.Â
Adapun bagi kalangan remaja dan anak muda Jakarta, langgam bahasa gaul "lu-gue" lebih banyak terdengar, dan mejadi trend bagi seluruh remaja di tanah air, walaupun diucapkan dengan logat medok sesuai daerah masing-masing. Gaya anak Jakarta sangat gampang menular ke berbagai pelosok berkat penetrasi acara televisi, dan terlebih lagi sejak dunia maya merambah tanpa kendali.