Beberapa teman anak saya aktif di sebuah perkumpulan teater mahasiswa. Saat ini mereka tengah berlatih keras untuk penampilan yang telah terjadwal di Taman Ismail Marzuki Jakarta, November mendatang.
Masalahnya, mereka butuh sejumlah dana yang lumayan besar agar ongkos produksi bisa tertutupi. Maka dengan berbekal proposal dari program tersebut, mereka berharap ada beberapa perusahaan yang menjadi pendukung alias sponsor.
Mereka tahu bahwa saya di hari-hari tertentu bertugas di sebuah BUMN yang relatif besar. BUMN ini pernah beberapa kali menjadi sponsor pertunjukan musik dari luar negeri. Melalui anak saya, mereka minta kesediaan saya untuk membantu mempertemukannya dengan divisi yang menangani public relation yang salah satu tugasnya adalah menilai proposal permintaan sponsorship.
Jujur saja, ada perang batin yang berkecamuk di dada saya. Di satu sisi, feeling saya mengatakan bahwa proyek tersebut kurang punya nilai jual. Memang, di tengah gempuran banyak hiburan yang bersifat online, banyak sanggar teater yang hidup segan mati tak mau, dan teater yang minta bantuan ini menurut saya juga belum dikenal publik.Â
Kecuali Teater Koma, teater lain pun yang sudah punya pengalaman, relatif kurang dilirik sponsor. Memang harus diakui jumlah peminat teater, sebagaimana juga pembacaan puisi, pantomim, dan acara yang berbau sastra, seni dan budaya, di negara kita belum banyak. Hanya musik dan film pop yang gampang meraih sponsor.
Di sisi lain, saya tidak ingin melihat semangat anak saya dan teman-temannya padam. Maka dengan berat hati, saya suruh beberapa orang dari mereka datang sesuai dengan jadwal saya di kantor. Saya hanya mengantar mereka menemui staf public relation, dan meninggalkan mereka begitu saja. Biarlah mereka secara mandiri menjelaskan tujuan kedatangannya, dan "merayu" agar dapat dukungan dana. Saya sama sekali tidak ingin ikut campur dalam keputusan diterima atau ditolak. Biarkan semuanya dianalisis secara obyektif.
Saya teringat, saat saya masih memegang posisi kepala divisi di sebuah BUMN (bukan BUMN yang sekarang tempat saya bertugas secara part-time), saya beberapa kali dititipi teman-teman satu almamater tempat saya kuliah S-1 dulu, yang tergabung dalam sebuah ikatan keluarga alumni. Teman-teman ini seperti "menodong" saja, tidak mau tahu dengan tata kelola dan birokrasi yang rumit di tempat saya bekerja. Mereka berharap dapat kucuran dana sponsor secepatnya, bila mengadakan acara kongres ikatan alumni, atau acara golf dalam rangka dies natalis, dan sebagainya.
Untuk mengucurkan dana sebagai sponsor, tentu sebuah perusahaan punya kriteria tersendiri, karena pengeluaran ini masuk sebagai biaya iklan. Oleh karenanya pihak sponsor akan minta laporan dari panitia berapa jumlah penonton atau peserta dari acara yang disponsorinya. Foto-foto acara yang memperlihatkan logo dan iklan sponsor yang eye-catching juga penting, sebagai bahan analisa apakah kerja sama tersebut bisa berlanjut di masa datang. Semakin banyak penontonnya dan semakin strategis tempat pemasangan logo atau iklan sponsor, semakin menguntungkan bagi perusahaan.
Lalu bagaimana nasibnya pertunjukan seni yang sebetulnya diperlukan dalam membangun karakter bangsa, bila tidak mampu eksis secara komersial? Teater mahasiswa, sanggar seni tradisional, pembacaan puisi para penyair muda, sangat mungkin sulit mencari sponsor. Untuk hal seperti ini, di setiap perusahaan kelas menengah ke atas, tersedia dana corporate social responsibilities (CSR), yang disisihkan sekian persen dari laba perusahaan tahun sebelumnya.
Pemakaian dana CSR tidak memakai pendekatan komersial, tapi lebih sebagai perwujudan tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan. Contohnya, ada perusahaan yang mendanai pembangunan atau perbaikan asrama anak yatim, menyumbang pengadaan mobil ambulans, donasi bagi korban bencana alam, khitanan masal, dan sebagainya, sebagai bagian dari program CSR.Â
Nah, meskipun penggiat kesenian yang tersisih di jalur komersial, mungkin tidak banyak jumlahnya dan belum tentu dapat mewakili kepentingan masyarakat banyak, namun mengingat betapa tinggi arti nilai kesenian tersebut, sebagai salah satu aspek dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya, maka diharapkan banyak perusahaan yang mau mengucurkan dana CSR-nya bagi hal ini.