Tentu tidak sedikit kisah koperasi yang berhasil berkembang dengan baik karena mempunyai basis anggota yang banyak. Anggota yang banyak tersebut haruslah aktif dalam bertransaksi, baik menyimpan uang, meminjam, dan membeli berbagai produk atau jasa yang disediakan koperasi.
Karena anggota koperasi kebanyakan adalah masyarakat lapisan menengah ke bawah, maka secara nominal, jumlah uang yang ditransaksikan per orang relatif kecil. Tapi dengan anggota yang banyak, katakanlah sampai belasan ribu orang, maka bila semua anggota aktif bertransaksi dengan tingkat frekuensi yang tinggi, sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi "bukit", sehinga secara total, omzet koperasi menjadi besar, tidak kalah dengan perusahaan berbentuk perseroan terbatas (PT).Â
Omzet yang besar akan mendatangkan laba, yang dalam istilah koperasi disebut sisa hasil usaha (SHU), yang juga besar. SHU ini akan dibagikan kembali kepada anggota, yang besar kecilnya bergantung pada sedikit-banyaknya kontribusi masing-masing anggota dalam menciptakan omzet itu tadi. Di sinilah peran koperasi dalam mengangkat perekonomian rakyat. Tidak salah bila meskipun presiden kita silih berganti, perhatian untuk koperasi selalu tinggi.
Dari Anggota Untuk Anggota
Ya begitulah memang hakikat koperasi, yang berprinsip "dari anggota dan untuk anggota". Berbeda dengan PT yang sahamnya dimiliki oleh satu atau beberapa orang saja. Bila suatu PT meraih omzet yang tinggi, konsumennya tidak akan mendapat distribusi laba, karena semua hasil usaha akan menjadi hak pemegang saham sepenuhnya. Bahwa ada PT yang berbaik hati menyumbang ke masyarakat sebagai bagian dari program corporate social responsibilities (CSR), itu lebih karena "kebaikan hati" pengurus PT.
Terlepas dari adanya beberapa koperasi yang berhasil, kenyataannya secara agregat, perekonomian kita masih didominasi oleh badan usaha PT berskala besar (milik swasta) dan badan berupa PT (Persero) yang milik negara. Sumbangan koperasi masih rendah secara persentase, yakni sekitar 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional di tahun lalu. Bahkan tidak sedikit pula cerita miris tentang koperasi yang hanya didirikan sebagai tameng untuk penipuan, katakanlah dipakai oknum pengurus untuk menarik investasi bodong. Setelah dana terkumpul, si oknum kabur.
Koperasi memang sangat diharapkan untuk mengerakkan ekonomi di lapisan bawah, dan karenanya kebanyakan terdapat di desa atau di pinggiran kota. Nah, barangkali luput dari perhatian publik, ternyata diam-diam sekarang ini mulai tumbuh koperasi karyawan berskala besar, yang mendompleng kepada perusahaan tempat mereka bekerja. Koperasi Karyawan Astra, Indocement, Pertamina, Telkom, Bank Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia, dapat disebut sebagai misal. Semuanya adalah perusahaan atau instansi besar dengan karyawan ribuan, bahkan sampai puluhan ribu.
Tingkat gaji di perusahan tersebut relatif besar, sehingga karyawan tidak keberatan dipotong gajinya untuk disimpan di koperasi karyawan. Â Sedangkan karyawan yang memerlukan uang dalam waktu cepat untuk kebutuhan mendadak, bisa meminjam ke koperasi tersebut. Koperasi juga menjual barang-barang kebutuhan karyawan termasuk menyediakan makanan di kantin kantor.
Tapi yang membuat koperasi karyawan meraksasa bukanlah karena simpan pinjam dan menjual kebutuhan harian kayawan. Koperasi tersebut mulai menggunakan manajemen profesional yang secara kreatif memperluas bidang usaha dan mampu mencari sumber dana pinjaman dari bukan anggota, seperti meminjam secara komersial dari bank, atau menerima deposito dengan memberikan bunga yang sedikit di atas yang diberikan bank.
Koperasi tersebut berani membayar bunga pinjaman dari bank atau membayar bunga kepada pemegang deposito, karena memperoleh berbagai "proyek" captive market dari manajemen perusahan. Tak heran bila ada beberapa koperasi karyawan yang aset dan omzetnya mencapai trilyunan rupiah.