Saya sering malu membaca berbagai kisah perjuangan seseorang, yang sebetulnya belum hidup berkecukupan, tapi tanpa pamrih menjadi penggerak dari sebuah proyek sosial. Jadi untuk berbuat baik janganlah menunggu kaya atau menunggu tua. Berbagai kisah tersebut sangat gampang kita temui di rubrik Sosok di Kompas Cetak, atau program Kick Andy di Metro TV.
Setelah membaca atau menonton acara tersebut, terbersit keinginan saya untuk melakukan sebuah proyek sosial, terlepas dari kecil besarnya rupiah yang saya keluarkan. Sayangnya, hanya dalam hitungan jam, niat luhur tersebut segera tenggelam oleh kesibukan, atau pura-pura sibuk, dalam keseharian saya. Alhasil, kegiatan sosial saya masih sekadar memberi sumbangan ala kadarnya pada kelompok yang kurang mampu, korban bencana alam, pembangunan rumah ibadah, dan sebagainya.
Oh ya, sebetulnya saya pernah di bulan September 2016, bekerja sama dengan seorang teman, mengumpulkan belasan orang ibu-ibu pengusaha kecil di Bogor, untuk memberikan semacam pelatihan pembukuan agar mereka mampu menghitung laba usaha secara lebih akurat. (Lihat di sini). Namun ini tidak bisa saya anggap sebagai sebuah program sosial yang berhasil karena saya tidak memantau bagaimana para ibu tersebut menerapkan teori yang diperolehnya.
Nah, di awal bulan puasa ini, tiba-tiba saya ingin menggagas program sosial, setelah saya melihat peluang bekerja sama dengan adik saya yang seorang dokter. Kebetulan, sang adik belum lama mendirikan sebuah klinik pratama di kota P. Dari berbagai alternatif program yang saya ajukan, akhirnya diputuskan untuk melaksanakan program khitanan masal bagi anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu di beberapa RT di lingkungan klinik sang adik.
Khitanan masal, sebetulnya sudah sangat sering dilakukan oleh banyak instansi sebagai kegiatan corporate social responsibility (CSR). Jadi, rasanya tidak perlu saya tuliskan di sini soal teknis pelaksanaannya. Hanya saja, bagi saya dan para kru di klinik pratama tersebut, hal ini adalah program sosial pertama, sehingga kami catat sebagai sebuah prestasi tersendiri. Betapa tidak, dengan persiapan hanya selama seminggu, dan dugaan awal tidak akan banyak peminat, ternyata kami terpaksa menolak para pendaftar yang datang belakangan.
Dari target sekitar 50 orang peserta, akhirnya dengan berbagai pertimbangan kami mengkhitan 54 orang anak, yang sebagian besar adalah anak dari tukang becak dan buruh bangunan. Acara berlangsung sukses pada tanggal 11 Juni yang lalu. Masing-masing anak juga mendapat selembar sarung, uang jajan, dan fasilitas 1 kali kontrol ke klinik.
Jujur saja, saya tidak banyak terlibat dalam kesibukan di lapangan. Yang melakukan pendekatan ke Ketua RT dan RW agar bisa menjaring sasaran keluarga kurang mampu, adalah adik ipar saya, yang sekaligus merupakan orang nomor satu di klinik tersebut. Namun, dari perbincangan dengan adik ipar sewaktu saya tanyakan apakah ia berminat menjadikan program ini sebagai program rutin tahunan setiap bulan Ramadhan, saya kaget juga, ternyata banyak kisah duka menyelimutinya.
Sangat melelahkan bagaimana menanggapi kecurigaan warga sekitar yang menilai kegiatan khitanan masal tersebut ada muatan politisnya. Ada yang bilang pemilik klinik berniat untuk mencalonkan diri jadi walikota atau anggota dewan dari partai politik tertentu, sehingga ada saja aparat di level bawah yang minta "jatah". Ada pula yang mengintimidasi mempertanyakan izin dari beberapa instansi terkait.
Mungkin karena selama ini program sosial terlalu banyak yang diboncengi oleh promosi perusahaan atau partai politik, sehingga semua dianggap begitu. Memang kalau berbau promosi, masyarakat menganggapnya sebagai sebuah proyek, sehingga perantara yang terlibat, baik pengurus RT atau pengurus masjid, mendapat uang lelah. Birokrasi perizinannya pun perlu salam tempel.
Lalu, seleksi siapa yang berhak menerima bantuan, dalam proyek sosial yang disponsori parpol atau perusahaan, juga kurang ketat. Yang penting malah hura-huranya dan diliput wartawan agar dampak promosinya makin kencang.
Barangkali gambaran seperti itulah yang ada di benak warga setempat begitu mendapat info akan ada program khitanan masal. Akibatnya, waktu panitia di klinik tersebut di atas menolak beberapa pendaftar yang datang belakangan, atau karena dari data yang diperoleh, pendaftar bukan termasuk keluarga kurang mampu, mereka mencak-mencak, dan merasa jatahnya dihilangkan.
Alhamdulillah, bagaimanapun juga ada kelegaan setelah program ini terlaksana. Semoga saja masih berlanjut dengan program sosial lainnya, dan tidak lagi dicurigai bermuatan politis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H