Banyak yang percaya bahwa saat terbaik untuk menikah adalah di bulan haji atau bulan Zulhijah menurut kalender hijriah. Untuk tahun ini, bulan haji bertepatan dengan bulan September 2016.
Makanya kalau saat bulan yang lalu ada banyak sekali ditemukan janur yang ditempeli nama pasangan yang menikah di depan sebuah gedung pertemuan sampai di ujung gang di pelosok kampung, khususnya pada hari Sabtu-Minggu, tentu sangat wajar.
Di antara janur yang banyak itu, ada beberapa yang saya cari, karena saya diundang ke resepsinya. Tapi rata-rata undangan yang sampai  ke alamat saya (termasuk yang dikirim melalui foto ke hape saya) adalah undangan di kawasan perkampungan, bukan di tempat mewah.
O ya sejak 1 Agustus 2016 saya sudah purna bakti di sebuah BUMN. Nah sejak itu praktis saya jarang mendapat undangan dari mantan rekan kerja yang menikahkan anaknya. Biasanya rekan kerja tersebut berpesta di hotel atau di gedung yang representatif.
Saya menyadari selama ini pun bila saya diundang ke resepsi yang wah tersebut, itu karena jabatan yang saya sandang, bukan saya secara personal. Sehingga begitu jabatan itu harus saya lepaskan karena pensiun, ya saya harus tahu diri kalau tidak dapat undangan.
Tapi bukan berarti baju batik saya menganggur terus. Hanya saja baju batik tersebut lebih banyak wira wiri dari kampung ke kampung di pinggiran Jakarta. Memang, bagi saya baju batik identik dengan baju kondangan (kondangan konon berasal dari kata ke undangan).
Undangan tersebut banyak berdatangan dari mantan anak buah yang menikah. Ini saya anggap suatu kehormatan. Ia memandang saya sebagai seorang bapak secara pribadi, bukan karena embel-embel jabatan.
Nah, undangan jenis begini sering tidak dilakukan di tempat mewah seperti yang digelar rekan kerja. Tapi di tempat kediaman orang tuanya dan relatif jauh di perkampungan di pinggir Jakarta, bahkan ada yang relatif jauh dari Jakarta.
Karena jauh itulah, tidak banyak atasan resmi dari yang menikah, yang meluangkan waktu untuk datang. Biasanya para bos hanya titip amplop pada salah satu anak buahnya yang berencana hadir.
Tapi saya justru bersemangat bila ada undangan dari tempat yang relatif jauh. Inilah kesempatan untuk sekalian jalan-jalan melihat kampung orang lain. Bila gak ada tujuan utama, hanya celingak-celinguk saja di kampung orang, jelas tidak baik, nanti dikira ingin berbuat kriminal.
Sebagai contoh saya jadi tahu seperti apa perkampungan di Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Bagaimana sebuah kota mandiri tumbuh dan berkembang. Masih banyak pula tanah yang sudah dikapling dan akan menjadi perluasan kota mandiri tersebut, tapi di balik itu ada kampung dengan banyak gang kecil serta perumahan yang padat. Adapun kebun dan sawah sudah langka ditemui. Justru pabrik makin menjamur lengkap dengan kos-kosan para buruh.