Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Semangat Ibu-ibu Pengusaha Kecil di Bogor: dari Grup WA ke GGU

18 September 2016   12:04 Diperbarui: 18 September 2016   12:14 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

GGU atau Grup Gerbang Usaha adalah suatu forum informal sekitar 90 orang ibu-ibu muda (ada sebahagian kecil bapak-bapak) pelaku usaha kecil di Bogor. Grup ini konon terbentuk secara tak sengaja. Awalnya adalah sebuah grup WhatsApp (WA) dengan anggota lintas profesi. Lalu ada beberapa anggota yang mem-posting produk yang dijualnya, semacam menumpang promosi.

Terhadap promosi gratis tersebut, sebahagian anggota grup WA memprotes. Lalu yang tidak keberatan dengan berbagi info produk, membuat grup baru, ya GGU itu. Ternyata mereka boleh dikatakan hampir semuanya pelaku usaha kecil baik sebagai penyedia jasa, pedagang kecil, maupun produsen industri kecil, yang mempunyai semangat juang yang dahsyat.

Saya sendiri berkenalan dengan GGU setelah terlibat obrolan singkat dengan teman saya Androecia Darwis, yang baru pensiun dari Bank Indonesia. Saya yang juga baru pensiun dari sebuah BUMN bertukar pendapat tentang aktivitas mengisi masa pensiun.

Memang telah lama terbersit keinginan saya untuk ikut terlibat membantu, sekaligus belajar dari para pengusaha kecil, khususnya tentang bagaimana sebaiknya mereka membuat pembukuan yang baik. Hal ini sejalan dengan latar belakang pendidikan saya dan juga latar belakang tugas saya selama bekerja, yakni bidang akuntansi.

Kenapa saya sebut saya juga belajar? Karena dalam buku teks, dan juga dalam prakteknya di perusahaan besar, akuntansi adalah sesuatu yang ribet dan njelimet. Bahkan di perusahaan tempat saya mengabdi selama 30 tahun, akuntansi tersebut merupakan sebuah divisi yang beranggotakan lebih dari 100 pegawai.

Bagi ibu-ibu yang skala usahanya sangat kecil, segalanya dilakukan sendiri (beli bahan sendiri, diolah sendiri, dikemas sendiri, ruang kerja di rumah sendiri, memasarkan sendiri), tentu tidak mungkin berharap mereka akan mencatat semua aktivitas bisnisnya sesuai kaidah akuntansi dalam teori.

Di lain pihak saya meyakini, daya ingat manusia sangat terbatas, dan usaha ibu-ibu tersebut buktinya tetap eksis, tentu mereka melakukan pencatatan, segampang apapun metodenya.  Nah itulah yang ingin saya gali, catatan apa yang mereka buat, sambil coba berdiskusi apakah memungkinkan bila saya beri masukan melalui sentuhan teori akuntansi.

Jadi saya sama sekaki tidak berpretensi untuk menggurui. Saya mencoba mengambil sikap sesuai titik pandang mereka. Ada yang membuat kebab yang dibekukan, ada yang membuat burger olahan dari ubi ungu, usaha salon kecantikan, berjualan aneka kantong dan kemasan plastik, menjual sprei, membuat asesoris manik-manik, produk kesehatan herbal, dan sebagainya.

Sesuai dugaan saya, semua mereka memandang penting aspek pencatatan. Kalau tidak mencatat, mereka mengaku bingung untuk mengetahui kemajuan usahanya. Namun catatan versi mereka betul-betul bergaya bebas, sebisa mereka sendiri sesuai dengan pemahaman masing-masing.

Ada yang hanya membuat catatan uang masuk dan uang keluar saja. Ada yang mencatat arus barang saja, kapan barang dibeli dengan harga berapa dan kapan dijual dengan harga berapa. Ada pula yang hanya mencatat modal awal saja, lalu setelah satu bulan melihat modal tersebut apakah sudah bertambah dengan melihat uang tunai dan stok barang yang ada, atau justru terkikis. Ada pula yang relatif rapi pembukuannya termasuk dengan catatan utang piutang.

Lalu saya memberi beberapa saran yang diterima mereka dengan baik. Pertama, pisahkan uang atau harta usaha dengan pribadi. Untuk itu mereka perlu menggaji diri sendiri, dan dari gaji itulah dikeluarkan keperluan pribadi. Kalau keperluan pribadi demikian besar, bisa saja meminjam dari kas usaha tapi dicatat sebagai utang.

Kedua, mereka harus  teliti dalam mencatat semua biaya yang tidak berkaitan langsung dengan produk yang dijual, tapi harus dialokasikan sebagai penambah harga jual, agar diperoleh keuntungan. Biaya yang saya maksud contohnya sewa kios yang dibayar secara periodik, penyusutan atas barang inventaris seperti lemari, kompor gas, tagihan listrik, air, pulsa telepon, iuran keamanan dan kebersihan, dan sebagainya  Atas barang yang rusak, usang, atau basi, ini juga menjadi biaya.

Makanya jangan terpukau dengan kas yang besar saat omzet besar, lalu tergoda untuk membeli kebutuhan pribadi yang bersifat demi gengsi. Lalu pas ada tagihan untuk biaya perpanjangan kontrak kios, atau saat lemari atau perlengkapan usaha harus diganti, kelabakan mencari dana. Sebaliknya jangan buru-buru bersedih ketika uang tunai tingal sedikit, barangkali ada tagihan yang belum masuk dari barang yang terjual namun belum dibayar pelanggan.

Ketiga, mau tak mau mereka harus telaten menghitung stok barang dan utang piutang. Jangan sampai modal awal yang besar tertumpuk di barang yang peredarannya lamban, bahkan akhirnya kadaluarsa atau rusak. Atau barangnya terjual tapi pembeli membayar belakangan, dan akhirnya menunggak. Perhitungan yang tepat amat diperlukan, kapan dan berapa banyak harus membeli persediaan barang. Untuk itulah catatan pergerakan stok barang amat penting. 

Kesimpulannya, mereka boleh-boleh saja mengandalkan catatan uang masuk dan uang keluar semata, tapi minimal  dilengkapi dengan daftar perubahan stok barang dan daftat utang piutang. Lalu setiap akhir bulan harus membuat rekapitulasi pendapatan dan biaya, termasuk biaya yang tidak langsung berhubungan dengan produk yang dijual seperti yang ditulis di poin kedua di atas, untuk mendapatkan angka laba atau rugi yang relatif akurat.

O ya tentu saja pembukuan tersebut kompleksitasnya disesuaikan dengan jenis usaha masing-masing. Usaha jasa seperti salon kecantikan, pembukuannya paling sederhana karena yang dijual bukan barang, tapi keahlian menata rambut atau menata kecantikan. Dalam hal ini, register kas masuk dan keluar saja, sudah memadai, selagi skala usaha masih kecil.

Untuk jenis perdagangan, karena ada barang yang dibeli dan dijual, maka keberadaan daftar barang dan utang piutang yang selalu disesuaikan dengan kondisi terakhir, sangatlah penting di samping daftar kas.

Yang paling rumit adalah jenis industri, yang mengolah bahan mentah menjadi produk jadi, sehingga stok barang yang dihitung ada tiga kelompok, yakni bahan mentah atau bahan baku, barang dalam proses, dan barang jadi atau yang siap untuk dijual. Kalau melibatkan satu atau dua orang pembantu, akan muncul pula biaya upah, di samping berbagai biaya tak langsung seperti yang diuraikan di atas.

Itulah pokok-pokok bahan diskusi saya selama lebih kurang tiga jam dengan sebahagian angota GGU yang berkesempatan berkumpul di ruang kelas sebuah sekolah di Bogor, yang sedang tidak digunakan di hari libur Sabtu (17/9) kemaren. Sekali lagi saya sangat terkesan dengan semangat juang para anggota, terutama ibu-ibunya, yang terlihat antusias.

Di akhir acara, setelah menikmati nasi kotak, saya mendapat kejutan karena diberi bingkisan beberapa contoh produk yang dijual anggota GGU. Yang berupa makanan, langsung saya cicipi setelah sampai di rumah saya, di Tebet, Jakarta. Sangat maknyus. Kemasannya pun tidak kalah dengan produk industri skala besar. 

Terakhir, ada dua foto saya sertakan dari dokumen pribadi saya. Harapan saya, usaha para anggota GGU semakin sukses, dan usaha pelaku bisnis kecil di seluruh tanah air juga berhasil.

Tentu pada gilirannya, secara makro, hal ini akan mengangkat tingkat kesejahteraan rakyat ke tingkat yang lebih tinggi. Salah satu hikmah yang dapat dipetik adalah, ajang berbagai kelompok yang ada, baik di media sosial, arisan, dan sebagainya, ternyata bisa menjadi sesuatu yang produktif secara sinergis.

Kepada pembaca tulisan ini yang juga mempunyai pengetahuan dan pengalaman, sudilah memberikan masukan tentang bagaimana suatu metode pembukuan yang sederhana bagi pengusaha kecil. Seperti kita ketahui, kendala pengusaha kecil tidak semata-mata karena kekurangan modal, tapi terlebih lagi karena manajemen yang lemah, yang salah satu indikatornya adalah ketiadaan sistem pencatatan yan baik. Akibatnya pihak bank yang berniat memberikan pinjaman, mengalami kesulitan dalam menganalisis kebutuhan kredit bagi pelaku usaha kecil.

"Sebahagian produk anggota GGU"]
"Sebahagian produk anggota GGU"]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun