Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Teater Lantai Merah Mencairkan Kebekuan Teater Kampus

17 September 2016   18:07 Diperbarui: 18 September 2016   03:05 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara kebetulan saya menonton pertunjukan teater yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Jumat (16/9) malam.  Yang manggung adalah kelompok teater dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, yang menamakan dirinya Teater Lantai Merah.

Sejujurnya, awalnya tidak ada niat saya untuk menonton. Hanya karena anak saya yang kuliah di UI dan ikut sebagai salah satu kru menawarkan saya tiket satu hari sebelum pertunjukan, jadilah saya menonton teater tersebut.

Saya jadi teringat semaraknya aktivitas ekstra kurikuler mahasiswa di era saya kuliah di tahun 80-an. Ketika itu hampir semua kampus dengan jumlah mahasiswa yang banyak, punya unit kegiatan teater. Mereka rutin berpentas termasuk dengan selingan pembacaan puisi. Bahkan lomba teater antar kampus pun semarak dari level provinsi sampai level nasional.

Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, paling tidak dari apa yang saya ikuti dan telusuri dari media cetak, elektronik, dan online, kegiatan teater kampus boleh dikatakan mati suri. Teater dari kampus seni pun seperti dari Institut Seni Indonesia di beberapa kota, Institut Kesenian Jakarta, atau Fakultas Sastra di Universitas ternama, tidak terdengar gaungnya.

Maka, terlepas dari mutu pertunjukan dan permainan dari aktor dan aktrisnya, upaya yang dilakukan Teater Lantai Merah tersebut pantas diberi apresiasi. Meskipun mereka mahasiswa Fakultas Ekomomi, tidak berarti mereka hanya ingin buru-buru selesai kuliah dengan indeks prestasi tinggi dan berburu pekerjaan di bank atau perusahaan bergengsi. 

Sejatinya, semua manusia membutuhkan kesenian, dan teater adalah salah satu cabangnya, agar kehidupan terasa lebih bermakna, variatif dan tidak "kering". Kehidupan tidak bisa dilihat dari angka-angka keuangan semata.

Penonton yang sebahagian besar berasal dari mahasiswa UI terlihat sangat antusias. Terbukti saat saya datang satu jam sebelum pertunjukan, antrian untuk membeli tiket mengular panjang. Cuma belum tentu mereka peminat teater, karena bisa jadi seperti saya, menonton karena ada anggota keluarga atau teman yang main.

Tentang lakon yang dimainkan, judulnya adalah "Bara". Kisahnya lebih banyak berupa monolog seorang ibu dan dialog dengan anak perempuan tertuanya serta ditingkahi beberapa tarian dan latar belakang musik bernuansa Jawa.

Si ibu tersebut selalu menanti kepulangan anak laki-lakinya yang bernama Bara. Padahal Bara 12 tahun yang lalu pergi naik kapal yang dinakhodai bapaknya. Kapal tersebut tenggelam dan mayat si bapak ditemukan beberapa hari setelah itu. Tapi keberadaan Bara tetap misteri karena tidak ditemukan jasadnya, dan si ibu yakin anaknya masih hidup.

Meskipun Astrid Amalia yang memerankan sang Ibu bermain apik, namun di beberapa bagian terkesan terlalu panjang monolognya, sehingga drama yang penulis naskah sekaligus sutradaranya adalah Bintang Pradipta itu, berjalan dalam tempo lambat dan terkadang menjemukan.

Namun bila Teater Lantai Merah ini rajin berlatih dan mendapat naskah yang oke, berpotensi untuk berkembang lebih baik. Siapa tahu dari teater kampus kelak bisa lahir pementasan sekelas Teater Koma-nya N Riantiarno atau Teater Indonesia Kita yang diprakarsai Agus Noor, Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun