Januari 1967, umur saya masih 6 tahun. Tanpa pernah sekolah di TK, saya langsung dimasukkan ke SD. Lagi pula saat itu saya sudah bisa membaca nama-nama bus yang lewat di depan rumah, sehingga orang tua saya semakin yakin sudah saatnya saya sekolah, meski teman lain kebanyakan masuk SD di usia 7 tahun.Â
O ya, saat itu awal tahun ajaran dimulai dari bulan Januari dan berakhir di bulan Desember. Barulah saat Daoed Joesoef menjadi Mendikbud, tepatnya di tahun 1979, tahun ajaran dimulai lagi di bulan Juli.Â
Di hari pertama, saya berjalan kaki diantar ayah ke SD Negeri 1 Koto Nan Ampek, 1 km dari rumah saya, atau 2 km dari pusat kota Payakumbuh arah ke barat atau ke arah kota Bukittinggi. Saat saya masuk kelas bersama teman-teman baru yang semuanya wajah asing bagi saya, saya merasa tenteram karena dari balik jemdela saya melihat ada ayah saya di luar. Tapi sekolah hari pertama hanya sebentar saja, mendengar pengumuman dari guru kelas satu, setelah itu saya bersama ayah kembali pulang ke rumah.
Itulah pengalaman pertama saya sekaligus pengalaman terakhir diantar orang tua ke sekolah. Karena dihari berikutnya saya disuruh pergi sendiri, meski masih takut-takut, ada beberapa teman sekelas yang wajahnya kurang bersahabat dengan saya.
Masuk SMP, dan SMEA, serta kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang, semua saya lakukan sendiri. O ya, saat itu juga belum ada kebiasaan rapor diambil orang tua, kecuali bagi anak yang bermasalah. Kedua orang tua saya baru "terlibat" lagi saat mengadiri wisuda saya di bulan September 1985, sebagai sarjana ekonomi, sekaligus akuntan, karena saya kuliah di jurusan Akuntansi.
Ternyata apa yang dilakukan ayah saya saat masuk SD dulu sekarang dikampanyekan oleh Mendikbud Anies Baswedan. Tapi Mendikbud punya maksud yang lebih luas, tidak sekadar mengantar saja, tapi juga berkomunikasi dengan guru wali kelas dan sesama orang tua murid.
Bahkan juga orang tua diminta untuk mendapatkan nomor hape guru serta hape orang tua murid lain yang satu kelas dengan anaknya. Maksudnya agar orang tua gampang menceritakan karakter anaknya yang perlu diketahui gurunya. Sebaliknya guru juga gampang menghubungi orang tua murid terkait program sekolah yang memerlukan keterlibatan orang tua.Â
Menurut saya, paling tidak di kota-kota besar, rata-rata anak sekolah, bahkan sampai tingkat SMA, banyak yang diantar jemput ke sekokah, sebagian diantaranya ditungguin. Ada yang orangtuanya sendiri, bila si ibu tidak bekerja, sambil ngegosip, arisan, atau berjualan dengan pola multi level marketing. Ada yang diantar oleh sopir atau pembantu rumah tangga. Tapi memang sering si pengantar sibuk dengan dunianya sendiri, tidak dalam rangka membangun relasi demi perkembangan pendidikan si anak.
Jadi, mengantar anak di hari pertama sekolah memang program yang harus didukung. Orang tua bagaimanapun juga tidak bisa berlepas tangan atas pendidilan anaknya di sekolah. Tapi ada beberapa batasan yang perlu diperhatikan. Jangan terlalu memprotek anak sehingga si anak jadi manja, sedikit-sedikir minta ditemani orang tua, atau si anak malah jadi frustasi karena tidak bebas, merasa selalu dipelototin.Â
Jangan pula orang tua yang bekerja di kantor menjadikan alasan ke sekolah anak untuk sering bolos di kantor. Pak menteri hanya minta di hari pertama sekolah saja. Bagi ibu-ibu rumah tangga juga jangan menjadikan sekolah anak sebagai ajeng pamer pola hidup konsumtif.Â
Datanglah ke sekolah anak di saat-saat tertentu saja, tapi betul-betul demi kemajuan pendidikan si anak. Dan yang datang tidak harus hanya ibunya saja. Seperti pengalaman saya di atas, ayah saya yang mengantar saya masuk SD. Ayah pula yang selalu membelikan sejumlah buku tulis di setiap awal tahun ajaran baru. Adapun ibu saya lebih banyak berperan dalam memberikan motivasiÂ
Namun yang saya lihat, sudah sejak lama sebetulnya, urusan anak sekolah seperti spesialis ibu-ibu semata. Saya pun terjebak seperti itu, setiap ada undangan rapat dari sekolah anak saya atau  saat menerima rapor, yang datang lebih sering istri. Bukan saya tidak mau, tapi salah tingkah saja, pernah beberapa kali saya hadir karena istri berhalangan, saya jadi bahan perhatian di tengah hampir semua ibu-ibu. Mungkin saya dianggap aneh.
Kolaborasi yang baik dari ibu dan ayah terkait urusan pendidikan anak-anaknya, pasti lebih baik hasilnya ketimbang menyerahkan bulat-bulat pada seorang ibu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H