Kebetulan saya lagi membaca sebuah koran yang memberitakan adanya surat dari sebuah kelurahan di Kota Padang kepada kantor perusahaan swasta di kelurahan tersebut untuk minta THR berupa paket Lebaran untuk sembilan orang (Republika 28/6).
Kemudian di Kompas hari ini (29/6) juga ada berita tentang Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Tembilahan, Riau, yang dijatuhi sanksi karena terkait dengan surat permohonan THR untuk dibagikan kepada pegawai PN Tembilahan yang ditandatanganinya dan dikirimkan kepada para pengusaha di wilayah tersebut. Tahun-tahun sebelumnya juga ada surat serupa, karena sudah tradisi, kata sang Ketua PN.
Terlepas dari dua kasus di atas, secara umum, "tradisi" minta THR Â di masa yang lalu memang begitu kenyataannya. Tapi jangan lupa saat itu PNS belum dapat THR seperti sekarang. Dengan dapat THR resmi, tentu diharapkan THR abu-abu yang memberatkan dunia usaha bisa dikikis.Â
Sekadar bernostalgia, saya teringat cerita teman saya, katakan saja namanya Arman, yang menjadi kepala bagian keuangan di sebuah perusahaan besar. Karena nama jabatannya keren, ada tulisan "keuangan"-nya, maka ia menjadi orang yang paling dicari di separoh terakhir bulan puasa. Ada saja kurir yang mengantar surat permohonan THR. Ada yang dari internal perusahaan, ada pula yang dari eksternal.
Yang dari internal adalah pegawai kelompok outsourcing, yang gajinya tidak dibayarkan langsung oleh perusahaan, tapi melalui vendor penyedia tenaga kerja. Gaji tenaga outsource jauh lebih rendah dibanding pegawai langsung perusahaan. Makanya ada koordinator satpam yang memberikan daftar nama-nama satpam di kantor pusat perusahaan tersebut kepada Arman. Ada daftar nama-nama sopir. Daftar nama pengurus kerohanian, dan sebagainya. Arman pusing juga, karena kalau ia mengambil atau menyetor uang ke bank, ia butuh sopir dan satpam. Jadi kalau mereka ngambek, bisa bahaya.
Celakanya, Arman harus pintar-pintar mencari sumber uang untuk dibagikan kepada yang telah menyetor nama itu tadi. Soalnya tidak ada anggaran resmi untuk pengeluaran seperti itu. Arman memang kepala bagian keuangan, tapi sesungguhnya tidak lebih sebagai kepala juru bayar dan juru buku. Karena kewenangan untuk memutuskan pengeluaran berada di level yang lebih tinggi. Setiap dokumen pembayaran kepada berbagai pemasok barang di perusahaan tersebut, Arman tinggal membayar dan membuku saja, sepanjang sudah ada tanda tangan pejabat yang lebih tinggi.
Nah, insting bahasa bersayap Arman jadi terasah. Kepada rekanan besar yang menerima pembayaran besar dari perusahaan tempat Arman bekerja, Arman bisa memperlama proses pembayaran. Si rekanan biasanya paham dan masuk ke ruang kerja Arman membawa map yang di dalamnya ada amplop berisi sejumlah uang. Ada juga rekanan yang meskipun tidak lagi punya urusan, tapi rutin menyetor "amplop" setiap mau lebaran, untuk menjaga hubungan baik.
Tapi ada juga anak buah Arman yang nakal, yang berani menjual nama Arman minta uang ke rekanan via telepon atau kirim memo berisi daftar nama pegawai bagian keuangan yang layak diberi THR karena sering membantu si rekanan. Nama Arman ditarok di nomor urut satu. Rekanan tidak berani konfirmasi ke Arman dan langsung memberi "amplop" kepada pegawai yang nakal. Untung ada pegawai lain yang tahu dan keceplosan ngomong ke Arman tentang hal ini, sehingga pegawai nakal ini dipindah ke bagian lain.
Begitu saja cerita masa lalu saat budaya setor nama menjelang lebaran masih lazim di birokrasi perkantoran. Kalau sekarang masih ada yang memelihara budaya  seperti itu, ya namanya kebablasan. Udah gak zamannya. Sekarang zamannya kerja, kerja, dan kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H