Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Atas Nama Cinta (Nafsu) Apapun Bisa Terjadi

23 Mei 2016   11:09 Diperbarui: 23 Mei 2016   12:02 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebetulnya saya tidak menanggapi tulisan kompasianer yang membahas affair guru dan murid. Apa yang dipaparkan di tulisan tersebut, terutama di bagian rekomendasi, sudah selayaknya menjadi panutan bagi semua pihak terkait. Saya hanya ingin menambahkan saja dalam spektrum lain.

Kata orang cinta itu buta. Makanya kalau dua anak manusia berbeda jenis kelamin saling jatuh cinta, yang konon berjuta rasanya, maka atribut yang melekat pada si pelaku, tidak begitu relevan lagi. Apakah antara bos dengan anak buahnya, orang super kaya dari kota dengan anak miskin dari udik, juragan dengan pembantu rumah tangganya, putri juragan dengan sopir pribadinya, atau ya guru dengan murid, rasanya lumrah terjadi. Bahkan saking sejatinya cinta mereka, banyak yang berujung di pelaminan. 

Memang susah untuk membedakan mana hubungan yang didasari cinta sejati, mana yang setengah sejati, mana yang palsu sama sekali. Tapi yang sejati, akan sangat susah ditahan-tahan, meski "kebetulan" orang yang dicintai itu adalah muridnya sendiri, atau gurunya sendiri. Apabila cinta model begini tidak bertepuk sebelah tangan, maka tinggal masalah etikanya, mampu gak pasangan tersebut saat berperan sebagai guru dan murid ya jadilah guru dan murid. 

Saat sebagai sepasang kekasih di luar kegiatan sekolah, ya terserah saja sepanjang menjaga batas kesopanan, meski tetap ada konsekuensi jadi bahan omongan bila ketahuan oleh guru dan murid lain. Asumsinya, murid di sini adalah yang sudah berusia remaja, tingkat SMA atau sederajat. Karena untuk usia SMP ke bawah, menurut saya meskipun bisa saja sudah mulai ada perasaan cinta kepada lawan jenis, sebaiknya tidak memelihara rasa itu, 

Hanya saja, mengingat akan sangat sulit membedakan peran sebagai guru-murid dan sebagai kekasih, dalam arti potensi conflict of interest-nya sangat tinggi, maka disarankan hal ini tidak terjadi atau ditunda terlebih dahulu. Namun bila telah mempertimbangkan sematang-matangnya tetap tidak bisa pindah ke lain hati, membuat makan tak enak, tidur tak nyenyak, ya keputusan ada di tangan pelaku dengan segala konsekuensinya.

Yang lebih ribet kalau ada salah satu pihak yang memanfaatkan situasi. Bisa jadi si guru cintanya sejati, tapi si murid hanya sekadar untuk dapat kemudahan dan nilai rapor yang baik. Atau sebaliknya si murid cintanya sejati, cinta pada pandangan pertama, tapi si guru iseng saja. BIsa pula dua-duanya saling memanfaatkan. Sekali lagi, tentang motif sesungguhnya, sagat sulit diverifikasi. Makanya idealnya memang pola hubungan pribadi guru-murid tidak dilakukan. 

Masalahnya ya itu tadi, dalam kenyataan sulit dihindari, bahkan dari jadoel, affair beginian sudah klasik. Dan jangan mengira polanya hanya antara guru pria dengan murid wanita. Dulu pun, lebih tiga puluh tahun  yang lalu, teman sekolah saya, sebut saja namanya Buyung, nekad memacari guru wanita yang sudah berumur tapi masih lajang. Begitu tamat sekolah, usai pula hubungan mereka. Tapi Buyung banyak mendapat manfaat karena nilai Bahasa Inggris yang dipegang "guruku, kekasihku" itu selalu dapat angka tinggi. Sudah begitu, entah bagaimana caranya si Buyung sering dapat bocoran soal ujian dari banyak mata pelajaran. 

Nah, yang merusak dan akhir-akhir ini sering menjadi berita yang meresahkan adalah bukan soal affair guru dan murid yang sudah remaja,  tapi masalah nafsu setan dari guru yang punya kuasa terhadap murid wanitanya yang masih bau kencur, yang berusia masih di bawah sepuluh tahun. Ironisnya banyak pelakunya bersatus guru agama atau guru mengaji, yang mengajarkan pahala-dosa, surga-neraka. Ini jelas-jelas salah dilihat pakai kacamata apapun. 

Sayang saya tidak punya kemampuan membedah secara psikologis fenomena di atas. Tapi, sebagai orang awam, saya menduga si oknum guru bejat tersebut berada dalam kondisi yang tertekan. Mohon maaf, mungkin dugaan saya keliru, boleh jadi si oknum uangnya sedikit dan tampangnya gak dilirik cewek, sehingga menjadikan ia tertekan oleh rasa mindernya sendiri. Hanya saja pelariannya salah total, karena menuruti bisikan setan dengan "menghajar" bukan mengajar muridnya yang belum ngerti apa-apa tentang pelecehan seksual. Cukup dengan diiming-imingi uang jajan Rp 5.000 maka si oknum "sukses" berkolaborasi dengan setan untuk memuaskan dirinya sendiri, namun akibat psikologis akan ditanggung si anak murid seumur hidupnya. 

Apa solusinya? Tentu rekomendasi dari tulisan rekan kompasianer sebelumnya, khususnya terkait pengawasan orang tua dan tanggung jawab sekolah, perlu dijalankan dengan sebaik-baiknya. Di samping itu, penegakan hukum harus konsisten tanpa pandang bulu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun