Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat, ramai diberitakan media masa karena menulis memo kepada seorang pejabat di lingkungan kejaksaan, agar kerabatnya yang menjadi jaksa di sebuah kota kabupaten di Jawa Timur mendapat perhatian atau perlakuan khusus.
Tulisan ini tidak bermaksud mengulas lebih jauh tentang kasus tersebut. Tapi dari pengamatan sekilas dan cerita beberapa teman di berbagai instansi dan BUMN, katebelece melalui tulisan di secarik kertas sudah relatif jarang ditemui. Apakah karena praktek good governance sudah semakin baik? Bisa jadi begitu.Â
Namun jangan lupa katebelece dalam versi online via sms, wa, bbm, dan yang sejenis, masih gampang ditemui. Cara ini dipilih karena relatif aman ketimbang secarik kertas, kalau nanti katebelece tersebut menjadi kasus.
Terlepas dari aspek negatifnya berupa ketidakadilan karena ada yang mendapat perlakuan khusus berkat kesaktian katebelece, dilihat dari sisi pejabat yang melakukan, adakalanya katebelece ini ibarat buah simalakama. Si pejabat pasti terlibat perang batin dengan dirinya sendiri sebelum menulis surat sakti.
Begini, banyak pejabat yang saat ini memegang posisi di level nasional, yang berasal dari daerah. Bisa dibayangkan betapa harum nama sang pejabat di kampung halamannya, apalagi bagi sanak famili dan karib kerabatnya, meski sang pejabat pulang kampung hanya sekali setahun.
Nah di sini masalahnya. Nama harum itu akan rusak bila sang pejabat dianggap tidak mau membantu keluarga atau orang sekampung. Ada saja yang berharap banyak agar si pejabat menulis katebelece untuk memuluskan seseorang dapat pekerjaan, dapat promosi atau pindah ke kota tertentu, atau dapat proyek di lingkungan instansi yang dipimpin sang pejabat.
Akhirnya daripada dibilang sebagai "Malin Kundang si Anak Durhaka" banyak pejabat yang menulis katebelece online itu tadi. Tapi kalimatnya dipilih yang paling aman, sehingga kalaupun nanti jadi kasus, kesalahannya tidak fatal.
Contohnya begini, seorang pejabat sebuah BUMN di kantor pusatnya di Jakarta menulis via WA kepada kepala cabang di sebuah kota, misalkan di Padang. Setelah berbasa basi menanyakan apa kabar, muncul tulisan seperti ini: "Ada ponakan saya bernama Badu yang ikut seleksi pegawai di Padang. Anaknya pintar dan potensial. Sekiranya memenuhi persyaratan, tolong dibantu".
Perhatika kata-kata "sekiranya memenuhi persyaratan", ini jelas kalimat pengaman, karena tidak bertendensi memaksa. Sang pejabat pun sebetulnya hanya sekadar melepaskan beban bahwa telah menulis katebelece ke kepala cabang Padang. Kalau perlu isi pesan tadi di-copy dan dikirim via WA lagi ke kerabatnya di Padang.Â
Setelah itu sang pejabat merasa tenang. Kalaupun kepala cabang Padang tidak meluluskan ponakannya karena kalah hebat dari calon lain, ya tidak apa-apa. Biasanya sang pejabat telah menjelaskan persyaratan dan kondisi persaingan untuk menjadi pegawai baru, kepada keluarganya.
Kesimpulannya, katebelece sulit untuk dikikis habis. Tapi jumlah katebelece yang beredar diduga sudah jauh berkurang sejak iklim good governance makin membaik. Kalimat katebelece pun semakin "netral" sehingga membuat si penerima katebelece berani mengabaikannya. Tapi katebelece tetap diperlukan sebagai bukti si pejabat punya perhatian terhadap sanak famili dan karib kerabatnya. Jadi hal ini juga terkait dengan faktor budaya yang butuh waktu lama untuk merubahnya.