Tulisan Kompasianer senior Tjiptadinata Effendi yang berjudul "Istri adalah Motivator Ulung bagi Suami", telah menginspirasi saya memberikan tulisan tanggapan berikut ini. Tanggapan ini bukan suatu hal yang menyangkal tulisan Uda Tjipta, tapi lebih dimaksudkan untuk memperkuat dan memperkaya, serta menambahkan dengan konteks kekinian.Â
Pertama, bahwa perempuan Minang pintar memasak, sehingga suami betah makan di rumah, saya kira sampai sekarang masih valid. Umumnya saat remaja, anak gadis sudah harus membantu ibunya memasak. Andaipun banyak yang malas, saat sudah berusia 20-an tahun, rata-rata dengan kesadaran sendiri mulai belajar memasak, agar saat berumah tangga bisa memasak sendiri.
Kedua, saya sependapat bahwa perempuan Minang secara umum lebih mandiri. Banyak yang ikut membantu berdagang atau membuka usaha sendiri. Apalagi dalam kondisi suami lagi sakit, biasanya kreatifitas perempuan Minang akan muncul.
Soal mandiri ini cukup teruji. Banyak perantau yang istri bersama anak-anak ditinggal di kampung. Semua persoalan beres di tangan istri. Bahkan kalaupun istri ikut bersama di perantauan, bila anak sakit, sang suami tidak akan dibuat panik. Istri bisa membawa ke dokter, dan suami tetap di kantor atau di toko berdagang. Padahal, ada teman saya yang kebetulan bukan Minang, punya istri yang tinggal di rumah, tetap menelpon suaminya di kantor agar suami minta izin atasan untuk mengantar anak ke rumah sakit.
Ketiga, agak tabu bagi suami untuk ikut beres-beres urusan rumah tangga seperti menyuci piring, menyuci pakaian dan sebagainya. Artinya itu dianggap ranahnya istri dan tentu mengenakkan bagi laki-laki. Di lain pihak saya juga melihat banyak teman non Minang yang belum kuat bayar pembantu, saling membantu dalam urusan demikian.
Nah, biar berimbang, saya ingin menambahkan sisi "duka"-nya beristri perempuan Minang. Tentu ini sangat subjektif sesuai pandangan saya yang sangat sempit, dan belum tentu valid.
Pertama, menurut saya perempuan Minang tidak setelaten etnis lain, katakanlah Jawa, dalam memberi perhatian dan penghormatan pada suami. Tidak ada cium tangan suami saat suami mau berangkat ke tempat kerja. Jarang pula yang memberikan pelayanan ekstra seperti menyiapkan handuk, dan pakaian dalam saat suami mau mandi, dan juga pakaian kerja termasuk sepatu saat suami mau ke kantor.
Kedua, dalam bertutur kata, kalah mesra ketimbang etnis lain. Perempuan dalam budaya Minang yang menganut pola matrilineal memang mendapat tempat terhormat, sehingga dalam berbicara dengan laki-laki berada pada posisi sejajar. Padahal, sekadar contoh saja, kalau mendengar gadis Solo atau Neng Geulis dari Bandung bertutur kata, rasanya terdengar merdu.
Tidak heran bila salah satu pesan dari orang tua Minang saat melepas anaknya mau kuliah di Jawa (di samping jangan lupa shalat) adalah jangan terpikat dengan gadis non Minang. Soalnya orang tua Minang sangat khawatir anaknya akan klepek-klepek mendengar halusnya langgam bahasa cewek rantau.
Hal tersebut bukan berbau rasialis. Soalnya kalau perempuan Minang dapat laki-laki non Minang, asal se-iman, hayo saja. Ini lebih berkaitan dengan pola matrilineal itu tadi, anak ikut garis ibu. Anak yang lahir dari ibu non Minang, secara adat dianggap bukan orang Minang, dan otomatis tidak punya hak waris tanah adat.
Ada sedikit catatan tambahan lagi, bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini, sejak dunia semakin "kecil" plus minus di atas semakin kabur. Karena perempuan di pelosok Sumatera Barat pun setiap hari nonton sinetron, bahkan sekarang apapun dapat dilihat dari internet, sehingga akhirnya budaya atau tata pergaulan perempuan Minang, termasuk dalam konteks berumah tangga, kurang lebih sama dengan saudara-saudara dari suku lain.