Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Es Blewah Sebelah Rumah: Ketika yang Jauh Tampak Lebih Menarik

12 Juli 2015   14:25 Diperbarui: 12 Juli 2015   19:04 1974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tinggal di Kawasan Tebet Timur, Jakarta. Di ujung gang rumah saya ada sebuah taman kecil tempat anak-anak dan juga ibu-ibu yang membawa bayinya bermain. Selama bulan puasa, setiap sore  ada pedagang es blewah yang mangkal di depan taman. Sejak jam 5 pembeli mulai antri yang sebahagian datang dari tempat yang relatif jauh. Di luar bulan puasa giliran pedagang Soto Bogor yang diantri sejak jam 6 pagi. Banyak orang kantoran yang naik mobil sendiri, singgah makan soto atau minta dibungkus untuk sarapan di kantor.

Tapi entah kenapa pemandangan pembeli yang antri tidak menggerakkan hati saya untuk sering-sering menikmati es blewah atau soto bogor tersebut. Pernah juga sih saya membeli dan sependapat dengan banyak orang bahwa rasanya enak. Mungkin karena saking dekatnya dengan rumah, hanya sekitar puluhan langkah saja, saya merasa kurang tantangan. Lebih enak berburu kuliner di tempat lain yang lebih jauh. Atau sering muncul dalam pikiran saya kalau pun pengen soto bogor gak usah sekarang, toh kapan saja saya bisa beli, tinggal melangkah sedikit. Jadi ada kesan menggampangkan.

Identik dengan itu, saya bisa memahami kenapa seorang tukang pangkas rambut malas nemangkas rambutnya sendiri, seorang penjahit baju, memakai baju yang biasa saja. Seorang guru matematik memilih memberi les pada anak yang tinggal jauh dari rumahnya, bukan ngajarin anaknya sendiri. Mungkin si anak yang malas, mungkin orangtua yang malas, atau dua-duanya malas, karena berfikiran kalau mau, kapan saja bisa mengajar pada anak sendiri atau belajar pada orang tua sendiri. Semuanya berfikir, ntar aja gampang, besok-besok saja. 

Gejala tersebut berlaku juga untuk berwisata. Justru orang Jakarta relatif jarang naik ke puncak Monas, masuk Museum Gajah, keliling Taman Mini, dan sebagainya, karena pola pikir "bisa kapan saja".Padahal orang daerah kalau lagi main ke ibukota merasa wajib mengunjungi tempat itu tadi,.karena berpikir mumpung lagi di Jakarta, kapan lagi naik Monas.

Dalam belanja barang juga begitu. Kita begitu bangga kalau belanja di Singapura atau Malaysia, padahal orang sana justru senang belanja ke Mangga Dua di Jakarta atau Pasar Baru di Bandung. Sering pula orang kita jauh-jauh belanja ke luar negeri ternyata "tertipu" karena produk yang dibeli adalah barang ekspor dari Indonesia.

Mengirim anak kuliah ke luar negeri sah-sah saja. Tapi janganlah didasari penilaian negatif atas pendidikan domestik, karena ada juga perguruan tinggi bagus di negara kita. Jangan pula kuliah di mancanegara untuk gagah-gagahan saja. Memang ada yang berprinsip kalau seseorang berhasil "menaklukkan" luar negeri maka nilainya lebih tinggi, karena berjuang di negara dengan bahasa,  budaya dan iklim berbeda. Boleh-boleh saja sih. Tapi jangan memandang alumni dalam negeri dengan pandangan sebelah mata.

"Mengharap bangau terbang tinggi, punai ditangan dilepaskan", itu kata pepatah lama yang menggambarkan orang yang melepaskan kesenangan "kecil" yang sudah pasti demi berburu kesenangan "besar" yang belum pasti dapat. Poin saya adalah, kita boleh saja menggarap ide besar, berjuang di medan yang berat, melangkah ke tempat yang jauh, tapi jangan lepaskan hal-hal kecil yang ada di depan mata atau yang ada di genggaman kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun