Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Tukang Pakuak; Promosi Negatif Pariwisata Sumbar

21 Mei 2015   14:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:45 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ngarai Sianok, Grand Canyon-nya Sumatera Barat

[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Ngarai Sianok, Grand Canyon-nya Sumatera Barat"][/caption] Alhamdulillah saya sudah berkunjung ke semua provinsi di negara kita tercinta ini. Memang, belum semua tempat wisata unggulan sempat saya lihat, seperti Raja Ampat di Papua Barat dan Wakatobi di Sulawesi Tenggara, masih masuk "daftar tunggu". Tapi dari mulai Pantai Sabang, Aceh, sampai Danau Sentani, Papua, sudah saya nikmati. Overall, Pulau Bali menurut ukuran subjektif saya masih nomor wahid. Namun, khusus dari aspek keindahan alam, menurut saya Sumatera Barat-lah juaranya, dan kebetulan itu kampung saya. Betapa tidak, di Sumbar, dari sisi alamnya, apapun ada. Pantai, Danau, Gunung, Lembah, Ngarai, Air Terjun, dan juga jalan yang berliku-liku di areal Kelok 9 dak kelok 44, terasa komplit semuanya. Belum lagi faktor budaya, religi, objek bersejarah (termasuk peninggalan tambang batubara yang dikemas secara baik), arsitektur rumah gadang, dan tentu saja kulinernya seperti rendang yang telah ditasbuhkan terlezat di dunia. Jarak antar objek wisata tidak begitu jauh. Setiap 2 jam jalan darat yang mulus, terdapat objek wisata. Pertanyaannya, kenapa pariwisata Sumbar tidak berkembang sesuai harapan? Dari sisi jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung, setelah Bali, masih banyak daerah lain yang mengungguli seperti Batam, Yogyakarta, Bandung, Lombok. Belum lagi "ancaman" dari daerah wisata yang cepat menggeliat seperti Bangka Belitung, Pulau Komodo, Wakatobi, dan Raja Ampat. Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan dunia pariwisata Sumbar. Pertama, petunjuk arah ke tempat wisata yang tidak lengkap. Bagi yang pertama kali datang ke Sumbar, dan ingin ke tempat "A" dari jauh sudah ada penunjuk jalan, tapi begitu ada perempatan atau pertigaan, petunjuknya malah hilang, membuat pengunjung harus mencari tempat bertanya dulu. Kedua, informasi berupa brosur, leaflet di bandara, hotel, dan tempat strategis yang belum memadai. Ketiga, minimnya aktifitas wisata malam. Wisata malam tidak harus berkonotasi "dugem" sesuatu yang memang tidak klop dengan adat Minang, tapi bisa disiasati dengan memperbanyak pertunjukan seni-budaya. Kalau di Bali, Tari Kecak saja bisa menyedot turis, kenapa drama tradisional "Randai" tidak? Nah, tapi penghalang terbesar menurut saya adalah faktor keempat, yakni manusianya yang belum sadar wisata, sehingga belum mampu memberikna layanan yang memenuhi kriteria "service excellence". Jangan menganggap keramah-tamahan hanya perlu di hotel berbintang. Tapi dari setiap mata rantai, mulai dari sopir taxi di bandara sampai kepada penjual makanan dan oleh-oleh kelas kaki lima, juga pemandu wisata dan tukang foto amatir, harus punya semangat melayani yang prima. Wisatawan sering diperlakukan sebagai "objek" yang hanya sesekali datang, dan ini disebut sebagai "rezeki harimau" atau rezeki yang tidak setiap hari ada. Jadi, begitu ada kesempatan, "pakuak" saja. Makanya penjual barang atau jasa yang seperti itu sering disebut juga "tukang pakuak" alias tukang palak. Penjualnya merasa, besok-besok toh ia tak akan ketemu pembeli itu lagi, jadi tidak perlu diperlakukan sebagai langganan. Padahal, pembeli yang puas akan berpotensi untuk datang lagi atau merekomendasikan kepada teman dan saudaranya untuk datang. Padahal, di beberapa rumahmakan Padang ada semboyan begini; "Anda Puas? Beri Tahu Teman. Anda Tidak Puas? Beri Tahu Kami". Betapa kecewanya pembeli, bila suatu barang tidak jelas standar harganya. Pertama ditawarkan penjualnya Rp 300.000 (sebagai misal), dan pembeli "dipaksa" mengajukan nego harga, yang celakanya ditawar berapapun, barangnya dilepas juga. Jangan-jangan harga sesungguhnya jauh di bawah harga yang disampaikan pembeli. Untuk memperkuat, baiklah saya kutipkan pernyataan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Bukittinggi, Safroni Falian, sebagaimana dimuat Kompas beberapa hari yang lalu:"Tidak ada label harga, membuat banyak wisatawan terjebak. banyak tamu dari Malaysia yang dahulu ke Bukittinggi mulai beralih ke Bandung. Alasannya, harga barang di sana jelas. Di sini, sepertinya mereka tertipu saat belanja karena tidak ada standar harga. Di toko A harga satu barang bisa Rp 200.000, tetapi ketika masuk ke toko B, mereka menemukan barang yang sama bisa berharga setengahnya." Itulah beberapa kendala pengembangan pariwisata di Ranah Minang, yang keindahan alamnya tiada tara. Seperti foto di awal tulisan ini, terlihat betapa indahnya Ngarai Sianok, Grand Canyon-nya Indonesia, yang terletak di Kota Bukittinggi. Banyak pelukis besar yang terinspirasi melukis keindahan Ngarai Sianok. Namun, keindahan tersebut tidak berarti banyak bila pelayanan terhadap wisatawan belum memuaskan. Diperlukan "revolusi mental" untuk membangun pariwisata Sumbar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun