Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Gaji Eksekutif 131 Kali Lipat Gaji Karyawan

22 Agustus 2014   17:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:51 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul di atas saya kutip dari judul sebuah berita di halaman 10 koran Kompas edisi hari ini. Tentu saya tidak akan menyalin ulang berita tersebut, kecuali sekadar menyampaikan kesimpulan bahwa di Inggris, kesenjangan gaji meningkat sejak tahun 1998 ketika gaji pimpinan puncak perusahaan "hanya" 47 kali dari gaji rata-rata pekerja, dan di tahun 2013 menjadi 131 kali.

Terlepas dari rasa keadilan kita yang mungkin terganggu melihat kesenjangan itu, harus diakui bahwa di negara kita pun hal serupa kemungkinan sudah terjadi di perusahaan-perusahaan besar. Toh data itu bukan rahasia. Setiap tahun majalah bisnis, seperti Swa, Investor, Warta Ekonomi, atau Infobank, rutin menurunkan hasil survey lembaga riset mereka sendiri atau hasil kerja sama dengan lembaga riset tertentu dalam menyusun peringkat gaji para CEO di Indonesia. Biasanya dalam survey seperti itu yang dihitung adalah gaji para eksekutif puncak dalam setahun plus bonus, insentif, dan fasilitas lain. Jika laba suatu perusahaan melebihi target, maka bonus yang diterima eksekutif puncak jauh lebih besar dari akumulasi gaji setahun. Inilah yang kondisi yang memungkinkan kesenjangan serupa di Inggris juga terjadi di negara kita.

Mekanisme pasar bebas-lah yang membuat semua itu terjadi, yang mengukur segala sesuatu dari "hukum permintaan-penawaran". Tangan dingin seorang CEO jempolan memang jadi rebutan. Permintaan tinggi, tapi penawarannya terbatas, sehingga agar CEO yang diincar tertarik, tak pelak lagi, harus diiming-imingi bonus berlimpah. Sementara untuk kelas rata-rata pekerja, terjadi kebalikannya, permintaan terbatas dihadapkan dengan penawaran yang melimpah berupa lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi yang membludak. Kasarnya, kalau pekerja menuntut macam-macam, mereka gampang di-out-kan, karena di luar banyak yang antri untuk menggantikan posisi mereka.

Mudah-mudahan di negara kita yang menganut Panca Sila ini, apalagi di bawah kepemimpinan baru Jokowi-JK, bisa menemukan obat yang mujarab untuk memperkecil kesenjangan tersebut. Semakin banyak penciptaan lapangan kerja baru, termasuk dari sektor ekonomi kreatif / kewirausahaan, bisa menjadi salah satu obatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun