Mohon tunggu...
Irwan Rahadi
Irwan Rahadi Mohon Tunggu... -

Biro kerja sama dan hubungan internasional Pimpinan Pusat HImpunan Mahasiswa Nahdlatul Wathan (HIMMAH NW) salah satu badan otonom ormas islam Nahdlatul Wathan (NW) di Nusa Tenggara Barat. Alumni Universitas Hamzanwadi, saat ini sedang menempuh studi pendidikan Pascasarjana di Mahidol University Thailand

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tuan Guru Bajang, Antara Gelar, Trust dan Keteladanan

18 Juli 2012   07:46 Diperbarui: 4 Oktober 2016   18:11 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuan guru dalam bahasa sasak (Lombok) dimaknakan sebagai orang yang alim, yang memiliki pemahaman agama yang lebih dari pada manusia pada umumnya. Yang selalu menjadi panutan bagi masyarakat Lombok. Tuan guru sendiri memiliki kesamaan makna dengan Kyai di daerah jawa atau “buya” bagi orang Sumatra. “Bajang” secara harfiahnya berarti ‘muda dan tentu saja enerjik”. Jadi tuan guru bajang berarti tuan guru yang memiliki pemahaman keilmuan agama yang disegani dan tentu saja masih muda.

Di daerah penulis (Lombok) nama tuan guru bernilai sakral, gelar yang tidak mudah didapatkan oleh seseorang kecuali ia memiliki kualitas keilmuan(ilmu agama) yang mumpuni. Gelar tuan guru merupakan penghargaan tertinggi dari masyarakat yang menurut bahasa salah seorang ulama dari Lombok (Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid) menyebut “penghargaan” tersebut dengan “ijazah masyarakat”. Ketika seseorang sudah digelari dengan “tuan guru” itu berarti orang tersebut sudah layak di dengar dan diikuti dan selalu dinilai identik dengan “kebenaran”.

Tuan Guru Bajang. Dalam kekinian terlihat sebagai sosok muda kelahiran Pancor, Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. Yang karena keluasan ilmunya mendapatkan gelar summa cum laude (gelar yang mungkin hanya segelintir orang yang mampu meraihnya) dari alamamaternya di negeri “mesir” sana. Yang karena keluasan ilmunya kemudian di gelari dengan nama “Tuan guru bajang” oleh masyarakat; tanpa dipaksakan, tanpa dibayar, tanpa di doktrin oleh yang bersangkutan karena mereka menilai dengan mata kepala mereka sendiri. Yang karena keluasan ilmunya kemudian diamanahkan untuk menjadi pemimpin di daerahnya.

Berbicara tentang Tuan guru sejatinya tidak hanya gelar yang disematkan, tetapi juga berbicara persoalan trust (kepercayaan) dan keteladanan. Bagaimana seorang tuan guru mampu memberikan pelajaran dan pemahaman yang benar kepada khalayak, tidak justru sebaliknya. Karenanya, sebutan “Tuan Guru Bajang” biarlah lahir dari pikiran tulus masyarakat atas dasar apa yang mereka dengar dan saksikan. Karena bagaimanapun masyarakat dengan pikiran sederhananya tidak memiliki kepentingan diluar keinginan mereka hanya sekedar menjadi jamaah yang ingin selamat.

Gelar Tuan guru bajang sejatinya tidak perlu diperdebatkan menjadi hak siapa, karena ia lahir dari pernghormatan masyarakat atasnya. Ia berhak disematkan kepada siapa saja selama kriteria telah layak atasnya. 

Karenanya, makna sakral Tuan Guru Bajang harus ditempatkan diatas nilai-nilai luhur dan mulia, sebagai ijazah masyarakat, karena kepercayaan dan keteladanan yang dimilikinya

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun