Mohon tunggu...
Prastiya Firds
Prastiya Firds Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Berlatar belakang kehidupan masa lalu menjadi alasannya untuk terus belajar menulis. silakan kunjungi blog saya di:\r\nhttp://prastiyafirds.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

30% Bisnis 70% Cinta (bag 5)

16 Februari 2015   14:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:06 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Bag 5
Saat pintu terbuka
Keringat dingin masih membekukan mulutku ini, apalagi melihat langsung wajah Pak Arman yang sudah menghantui pikiranku sejak satu jam yang lalu.
Kini Pak Arman telah tepat berada di depan mataku. Dengan berbusana alakadarnya, berkaus kutang putih lecek dan bersarung kotak-kotak yang sepertinya baru bangun tidur?,
Rambutnya yang sebahu membuatnya terlihat makin awut awutan, andai orang bertemu pertama kali dengannya mungkin tak akan ada orang yang percaya kalo aku katakan dia Bapaknya si Rasmi.
Pak Arman memang mantan preman yang sangat disegani di kampung kami, tato bergambar naga yang terukir seram si lengan kananya menjadi bukti sahihnya.
Pak Arman mendadak menjadi jutawan karena menikahi Ibunya si Rasmi yang tersoroh itu. Meskipun bukan anak kandung, si Rasmi justu malah sangat dilindungi sama Pak Arman karena Rasmi satu-satunya anak di keluarganya.
"Ada apa kesini?, mau ketemu Rasmi ya...?, mau ngapain?, ngajak jalan?, pacaran,? Ngobrol?, makan,? Nonton..? Atau cuman maen aja? Apa..apa haa..? Sudah banyak saya liat anak muda kayak kamu ini..!, semuanya sama saja..." bunyi pak Arman yang nyerocos dan memberondongku dengan pertanyaan seperti petasan berantai yang aku sendiri bingung harus dijawab kays gimana karena semua jawabannya akan sama 'bukan Pak'.
Jangankan mau jawab, baru buka mulut sedikit Pak Arman udah ngedumel lagi....anak muda seperti aku ini harus begitulah... bigini lah...bla..bla.bla..
Akupun nggak ada pilihan lagi selain diam dan mendengarkannya.
***lima menit kemudian***
"Sebentar....kamu ini anaknya siapa?, anak kampung sini bukan?" tanya penasaran Pak Arman sambil matanya berkerut dan mendekati wajahku
Hadeeh... rasanya kesal betul diceramahi tanpa sebab yang jelas.
Akupun Membalas tatapan pak Arman dengan canggung, dahiku berkerut bingung menalar maksud Pak Arman.
"Saya anaknya Pak Komar Om.., yang tinggal di gang Haji Alim" jawabku sambil masih kebingungan.
"Oohhh..Pak Komar..ya..ya..ya, pasti Aldo ya..?, jadi pangling.liat kamu Al.., dulu kecil kamu dekil hahaha" tawa riang Pak Arman
" iya Om.persis.!" jawabku sambil cengar cengir. Akhirnya suasananya cair juga.
jadi anak Pak Komar ini naksir anakku juga ya ..!!!?" ujarnya kaya mau ngajakin bercanda.
" Iya Om.., eha maksudnya mana berani saya oom..!!"
" lho..kalo nggak ada urusan sama Rasmi kamu kesini.. dalam rangka apa?"
" Ini Om...mau bicara soal tanah yang digadein sama Bapak.."
"Oh..soal itu, lho tapi kenapa nggak Bapakmu sendiri yang datang kesini dan ngomong langsung sama saya..?"
" Iya om idealnya memang begitu..., tapi ceritanya panjang om.." terangku sambil coba meyakinkan Pak Arman.
"ohhh gitu. , yaudah kita duduk dulu, biar enak ceritanya..!! Tapi di depan sini saja ya" ajak Pak Arman sambil menunjuk 4 kursi kayu dengan meja bundar yang ada di depan teras rumahnya."
"Sebentar..kamu mau minum apa?, sirup, kopi, es teh manis, atau air putih..?" tanya Pak Arman dengan mata terbelalak dan senyum masamnya"
Melihat ekspresi itupun aku seretak menjawab.."air putih aja Om
"Mbok yem tolong air putih ni buat tamu" teriak Pak Arman.
Aku sebenarnya malas menjelaskan ini karena hari sudah mulai sore, ribet aja kalo sampai Rasmi pulang, karna malunya bisa nggak ketulungan.

Singkat cerita dua puluh menit berlalu,***
aku ceritakan semua dari awal aku ditawari Rian Bisnis, pinjam uang si Bapak, sampai kejadian hari ini dengan Rasmi, tapi tentu saja aku tidak akan ceritakan soal sandiwaraku ke Rasmi.
Setelah mendengar semuanya Pak Arman pun berkomentar..
" Ohh... Begitu, jadi kamu mau sertifikatnya dikembalikan?, tapi kamu sudah bawa uangnya khan? Ujar Pak Arman.
"iya Om, ini juga sudah saya siapkan uangnya" jawabku sambil membuka resleting tas slempangku dan menunjukkan uangnya diatas meja.
"Ok..good, kalo begitu saya ambilkan sertifikatnya di dalam dulu ya?,. Tunggu..sebentar" jelasnya sambil masuk kedalam rumah.
Melihatnya masuk kedalam rumah akupun kegirangan, tak kusangka meskipun sempet spot jantung tapi semua akhirnya berjalan mulus.
Pak Arman pun kembali ketempat duduk sambil membawa sertifikat itu dalam map coklat.
Melihat amplop itu saja aku sudah senang dan lega,
"Sertifikatnya didalam sini" terang Pak Arman sambil tersenyum ringan.
"ok Om kita bisa tukar sekarang, ini uangnya" sambil aku menyodorkan 3 gepok uang itu.
"Lho...sebentar..katanya kamu nggak suka sama Rasmi, tapi kok tadi kamu cerita pake antar-antar ke kampus segala...??" tanya Pak Arman tegas sambil mengebrak meja, hingga air putih yg belum ku minum itu tumpah ruah membasahi taplak meja.
Mataku yg melihat hal itu sontak terbelalak, sambil menelan air ludah. Mulutkupun terhambat untuk berterus terang, ada pepatah yang sangat menjadi prinsip hidupku 'Jujur adalah siasat yg terbaik' tapi rupanya dalam kasusku kali ini terdapat pengecualian.
***bersambung***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun