Mohon tunggu...
Irwan Iskandar
Irwan Iskandar Mohon Tunggu... -

apakah perlu saya, minta ibu, adik-adik, dan teman-teman saya menuliska biografi saya yang tidak spesial?

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Konsepbasi (Konspirasi) Warung Lotek

12 Mei 2010   05:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:15 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah latar belakang dari kisah konspirasi warung lotek di cerita sebelumnya.

Yuyun dan Kokom, wanita usia 30 tahunan, memang dikenal warga kampung sebagai pengutang papan atas. Usaha mereka bukan tidak sukses, tapi entah selalu saja terjebak utang, mulai dari renten tanpa merk, utang ke bank gelap, sampai bank terang, bank pemerintah atau swasta.

Yuyun, 32 tahun, tamatan SMP, memiliki 2 orang anak Dudung (13 tahun) dan Lita (9 tahun) dari suaminya yang hanya lebih tua 1 tahun. Pekerjaan suami Yuyun serabutan, kalau tidak ada kerjaan ya ikut bantu usaha lotek Yuyun. Lotek Yuyun terkenal laris manis, bukan tanpa saingan, tapi tetap siapapun penjual lotek selain Yuyun, pasti kalah pamor.

Yuyun mengenal utang dengan bunga tentunya diawali oleh tawaran kredit dari Bank 'tanpanamajelas', dengan harapan usaha lotek makin maju, tapi apalagi selain istilah paling dekat untuk tidak berkembangnya usaha dari pinjaman ini karena kata 'mismanajemen'.  Bukan tanpa konsep, suaminya yang tamatan SMA lumayan mengerti lah konsep-konsep dasar ekonomi. Tetapi uang pinjaman Bank, digunakan oleh Yuyun untuk beli motor, dengan harapan diversifikasi usaha suami sebagai tukang ojek, selain untuk antar jemput Yuyun ke pasar. Akan  tetapi karena tiap manusia diatas 15 tahun sekarang hampir punya motor sendiri, usaha ojek sudah tidak manjur. Motor terjual, dan cicilan utang plus bunga plus administrasi dsb terus dibayarkan. Selanjutnya malah terjebak utang mulai dari utang untuk hidup plus gaya, plus pamer, plus-plus, malu atuh lah, pengusaha lotek kesohor cuma begitu-begitu aja gayanya.

Konsep-konsep lain sudah dicoba, dengan utangan, pinjaman, dan segala jenisnya terus dilakukan jangan salah, suami Yuyun senang menonton acara motivasi bisnis dan lain sebagainya. Pernah konsep diimplementasikan memperbesar warung lotek, menambah daya tampung meja, tapi gagal, pendapatan tidak meningkat signifikan. Membuka cabang, dimana sepupu Yuyun sebagai manajer cabang, tapi gagal berujung pada perselisihan antara Yuyun dan sepupunya, pecah kongsi dan lebaran moal salaman satu sama lain. Sampai dengan saat ini akhirnya mereka punya kesimpulan, berkaitan dengan hal-hal tidak rasional mengenai usaha mereka seperti; cobek kojo (sakti, jimat), harus konsultasi orang 'pintar'.

Sementara kebocoran anggaran tinggi, program utang bukan untuk menambah produksi, tapi malah habis untuk anggaran rutin. Dengan harapan Dudung dan Lita kelak bisa jadi pegawai di perusahaan elit, atau kerja kantoran atau kerja di bank intinya jangan seperti dia dan suami, pengusaha lotek. Dudung dan Lita, dipaksakan masuk ke SMP dan SD nomor wahid di wilayahnya, pakai standard, ya kalau namanya pakai standard dan favorit ya pendidikan-nya harus bayar lebih, buat ekskul, buat kegiatan anu dan itu, demikian alasan guru, kepsek di sekolah Dudung dan Lita, ketika Yuyun dan suami bertanya kenapa kok tidak gratis seperti kata di tivi?

Sementara Kokom, sohib karib Yuyun, gagal menyelesaikan SMA saat baru kelas 2 karena diminta  kawin dengan anak orang kaya di kampung tetangga. Gaya hidup yang diatas rata-rata membuat mereka setelah 15 tahun menikah terjebak utang. Keduanya baik Yuyun dan Kokom selalu mengagung-agungkan emansipasi, suami-suami mereka tidak melarang, tapi makna sebenarnya emansipasi sudah salah di mata mereka. Kokom ke sana kesini naik motor bebek terbaru, dengan alasan bisnis pakaian, Kokom terkenal di kampung sebagai salah satu pusat informasi mode.

Nama Sri Mulyani sebagai Bank Dunia juga mereka update , mereka bangga, tapi ironis kadang mereka terjebak utang, baik dari bank atau lembaga keuangan seperti bank. Konsep-konsep ekonomi mereka sendiri mungkin konsepbasi, omongan mulut ke mulut, tapi kalau ada istilah ekonomi kerakyatan mereka dukung, ketika neolib mereka anti. Tapi sekali lagi, mereka cinta utang.

bersambung..

wassalam,

Dudung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun