Mohon tunggu...
Irwan Saputra
Irwan Saputra Mohon Tunggu... -

Journalist | Activist | Socialist Founder and Board of trustees Yayasan Bangun Bahari Initiator of Perpustakaan Terapung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

National Student Cultural Exchange; Pendidikan Multikulturalisme Bibit Penerus Bangsa

9 Mei 2015   19:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:13 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1431173288739748830

Multikulturalisme di Indonesia merupakan paradigma yang realistis. Keberagaman etnis, bahasa, agama dan ideologi sebenarnya bukanlah penyebab terjadinya ketimpangan yang sangat tidak diharapkan. Menurut Raymond Williams amat sulit menemukan definisi multikulturalisme, selain menunjuk kepada kemajemukan budaya, multikulturalisme juga mengacu kepada sikap khas terhadap kemajemukan budaya tersebut (Waspada.coi.id). Masyarakat Indonesia sendiri dalam merespon heterogenitas tersebut terbagi menjadi dua golongan, yang pertama sikap toleransi dan penegakkan hak-hak secara yuridis, dan yang kedua cenderung radikal dan represif terhadap kaum minoritas. Sikap kedua tersebutlah yang sebenarnya menjadi penyebab terjadinya entitas yang seharusnya tidak pantas di negara ini. Karena biar bagaimanapun Indonesia bangkit dari sebuah sejarah persatuan para pemuda yang bersumpah untuk bersatu dalam keberagaman atas nama Indonesia. Hal tersebutlah yang seharusnya ditanamkan kepada bibit penerus bangsa mulai dari pendidikan dasar.

Studen Exchange atau pertukaran pelajar adalah sebuah program pertukaran antar pelajar yang dilaksanakan oleh dua atau beberapa instansi tertentu. Selain dalam rangka mempererat hubungan antar instansi, Student Exchangejuga untuk meningkatkan wawasan, pengalaman ilmu dan kebudayaan para pelajar. Kehidupan di sekolah atau universitas internasional yang terdiri dari pelajar seluruh dunia yang memiliki keberagaman etnis, ras, agama dan ideologi membuat mereka terbiasa akan kehidupan yang heterogen. Oleh sebab itu manfaat dari studen exchange yang sangat terealisasi dari seorang pelajar yang sudah pernah mengikuti program studen exchange tersebut adalah sikap toleransi atas paradigma kehidupan pluralis. Dari program Student exchange tersebut muncullah calon penerus bangsa yang memiliki integritas dan toleransi yang tinggi dalam membangun negara ini kedepannya. Namun sayangnya program student exchange sampai saat ini hanya ada pada skop internasional meliputi para pelajar tingkat tinggi dan mahasiswa.

Pendidikan multikulturalisme yang ideal seharusnya dimulai sejak Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menegah Pertama (SMP), dimana para siswa yang masih di usia dini belum banyak tercemar dengan pemahaman radikal dan intoleransi. Anak pada usia ini cenderung mengikut dan mematri pemahaman yang secara umum diketauhi olehnya melalui keluarga, sekolah dan masyarakat. Pada realitasnya, pendidikan dasar yang memuat pendidikan multikulturalisme, toleransi dan penegakkan hak-hak secara yuridis biasanya terintegrasi di dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan / PKN. Pada umumnya mata pelajaran PKN hanya memuat pendidikan multikulturalisme secara teoritis dan implisit yang dinilai kurang efektif. Sedangkan secara praktis, paradigma yang dialami oleh siswa tersebut adalah kehidupan bermasyarakat yang cenderung monokulturalis dan sikap intoleransi terhadap pluralisme. Belum lagi proses pendidikan dari keluarga dan orang tua yang sangat kurang memperhatikan halhal yang menyangkut pluralisme dan bahkan cenderung mengajak anak mereka untuk intoleransi pada pluralisme.

Pendidikan multikulturalisme memiliki kesamaan dengan pendidikan karakter dalam penerapannya, yaitu tidak cukup hanya dengan diajarkan secara teoretis namun harus diterapkan secara praktis. Hal tersebut karena pendidikan multikulturalisme yang terintegrasi dalam mata pelajaran PKN hanya mengajak dan mendeskripsikan kehidupan masyarakat yang plural secara utopis. Sedangkan pada realitasnya, kehidupan yang heterogen di masyarakat Indonesia agak sulit untuk diterima oleh sebagian masyarakat. Kehidupan sosial masyarakat monogen yang turun-menurun diwarisi oleh para pendahulu menjadikan sebuah paradigma yang terpatri didalam pikiran tiap individu, sehingga pendidikan multikulturalisme sulit terapkan jika hanya diajarkan secara teoteris. Atas dasar
pendidikan multikulturalisme yang ideal yakni pada tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, dan juga cara penerapannya yang lebih efektif yakni secara teoretis dan diikuti dengan tindakan praktis. Maka penulis memberikan sebuah gagasan inovatif berupaNational Student Cultural Exchange,yakni berupa program pertukaran pelajar antar daerah di Indonesia dan ditujukan pada siswa tingkat SMP yang sebelumnya telah dilakukan pendidikan secara teoretis pada tingkat Sekolah Dasar.

Program pertukaran pelajar antar negara (International Student Exchange) yang telah berjalan selama ini yang dinilai sangat efektif dalam membentuk sikap toleransi atas paradigma kehidupan pluralis dirasa sangat tepat jika diterapkan pada siswa tingkat dasar dan menegah pertama. Sikap mereka yang cenderung mengikut dan mematri pemahaman yang didapatkannya pada keluarga, sekolah dan lingkungan akan menjadikan mereka sebagai bibit muda yang memiliki sikap toleransi dan nasionalisme yang tinggi. Adapun penerapannya adalah dengan pembagian kesempatan berupa kesempatan beasiswa dan juga kesempatan bebas bagi orang tua yang berminat agar anak mereka mendapatkan kesempatan untuk bergabung menjadi siswa National Student Cultural Exchange. Sehingga yang telah mendapatkan pendidikan multikulturalisme secara teoretis pada tingkat dasar dapat juga selanjutnya diterapkan langsung di sosial masyarakat secara praktis pada tingkat SMP. Adapun penentuan siswa tingkat SMP sebagai siswa yang dipilih untuk program tersebut karena siswa pada tingkat ini dapat hidup lebih mandiri dari pada siswa tingkat SD dan pada periode ini seorang anak dalam fase mencari jati diri. Sehingga penerapan pendidikan multikulturalisme melalui National Student Cultural Exchange dapat berjalan lebih efektif.

Jika program pertukaran pelajar yang ada selama ini hanya ada pada skop internasional sehingga kebudayaan yang terpatri pada siswa adalah kebudayaan global, maka untukNational Student Cultural Exchangeini dilaksanakan pada skop nasional. Dengan demikian para siswa tingkat dasar tersebut akan terbiasa dan mengerti paradigma heterogenitas yang sebenarnya dari bangsa Indonesia. Pengaturan penetapan daerah tujuan pertukaran pelajar tersebut sepenuhnya ditetapkan oleh panitia pelaksana dengan beberapa pertimbangan, sehingga anak tesebut dapat benar-benar berasimilasi pada lingkungan barunya dengan alami tanpa ada intervensi dari keinginan orang tua.

Untuk lebih mempermudah orang tua dengan kondisi usia anak yang masih dini untuk hidup mandiri, dan juga terlalu sulit jika orang tua harus mendampingi anak yang harus menetap di daerah lain, maka program ini diterapkan dengan sistem orang tua asuh. Jadi tim pelaksana atau panitia sebelumnya telah menyediakan beberapa orang tua asuh dari setiap daerah, yaitu  pasangan suami istri yang tidak memiliki anak ataupun memiliki anak jika tidak merepotkan, yang bersedia secara penuh menanggung biaya kehidupan anak tersebut selama masa studi. Selain itu, orang tua asuh tersebut juga harus dari etnis yang berbeda dari sang siswa sehingga penerapan praktis multikulturalisme dapat lebih efektif. Disamping itu program ini juga dapat diterapkan dengan sistem “Asrama Multikulturalis”, yakni sebuah asrama yang menampung siswa programNational Student Cultural Exchangeyang berasal dari seluruh daerah yang berbeda. Sehingga dengan hal itu para siswa dapat membaur dengan teman se-asramanya yang berasal dari berbagai etnis dan golongan. Ditambah lagi dengan beberapa pertimbangan lain seperti keadaan lingkungan sosial yang heterogen dan toleransi sehingga siswa yang mengikuti programNational Student Cultural Exchangetersebut tidak malah terkontaminasi dengan hal-hal yang tidak diharapkan atau malah didiskriminasi.

Berbagai ketimpangan di negara ini berupa tawuran, peperang/sengketa antar warga, perusakan tempat-tempat ibadah, dan berbagai jenis tindakan kekerasan dan diskriminasi lainnya adalah manifestasi dari sikap intoleransi dan radikal yang muncul karena pemahaman yang kurang. Berbagai pendidikan yang bertujuan untuk memperkuat sikap toleransi dan penegakan hak-hak secara yuridis telah diterapkan melalui mata pelajaran yang terintegrasi di dalam Pendidikan Kewarganegaraa (PKN). Namun pendidikan teoretis yang utopis tersebut sangat berbeda dengan realitas yang ada pada lingkungan masyarakat di Indonesia.National Student Cultural Exchangeberupa program pertukaran pelajar yang diterapkan pada siswa tingkat menengah pertama yang sebelumnya telah mendapatkan pendidikan multikulturalisme secara teoretis pada tingkat dasar dirasa sangat efektif dalam mencetak generasi penerus bangsa yang berintegritas dan toleran. Sehingga Indonesia di masa yang akan datang telah dihuni oleh orang-orang yang berpikiran luas untuk menjadikan bangsa ini jauh lebih baik, bukan hanya memikirkan kepentingan kelompok, etnis, agama dan golongan tertentu saja.

Note : Esai ini merupakan karya tulis saya yang berhasil mendapatkan penghargaan Juara I pada Gelora Esai Nasional Universitas Pendidikan Ganesha 2012, Bali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun