*tanggapan atas pemberitaan dan sikap Aya Lancaster tentang bukunya yang go internasional* Berita dengan judul “Novel Mahasiswa Bandung Sukses di Pasar Internasional” yang dilansir Portal Berita Republika.co.id, (21/1/2012 ternyata mendapat perhatian yang cukup luas di kalangan pembaca dan peminat dunia perbukuan di Indonesia. Bukan hanya di komentar posting Republika itu, pemberitaan meluas menjadi disikusi yang panjang di beberapa jejaring sosial, juga portal-portal di internet. Seminggu setelah posting berita di Republika, terdapat sekurangnya 248 komentar, dengan share di twitter mencapai 160 lebih. Berita tersebut juga disukai oleh 710.000 jempol pengguna facebook, 569 orang di antaranya menyarankan dengan memasang di wall facebook mereka. Sebuah apresiasi yang cukup besar untuk ukuran sebuah berita singkat. Apalagi hanya membahas novel yang bahkan belum banyak dibaca oleh pembaca (di) Indonesia. Berhari-hari saya menahan untuk berkomentar, meskipun geli juga dengan beberapa hal yang menjadi perdebatannya. Saya takut memberi penilaian, karena saya memang tak banyak tahu tentang bukunya, bagaimana proses terbit dan penerimaan pasar atas buku tersebut. Bahkan saya tak menemukan banyak keterangan tentang Aya Lancaster si penulis. Tanggapan serius makin banyak, terutama setelah Adelinne Anastasya memuat link sebuah blog (sampai sekarang saya juga belum tahu milik siapa) di forum facebook fan page Aya dan bukunya. Blog ini menghadirkan fakta baru bahwa penerbit buku Chronicles of the Fallen: Rebellion karya Aya adalah AuthorHouse, sebuah penerbit self publish (indie) berlokasi di AS dan UK. Sebelumnya, komentator banyak memuji Aya dan menyalahkan penerbit lokal. Banyak yang beranggapan dan sinis; bagaimana bisa penerbit Indonesia kebobolan dan meloloskan sebuah naskah berkelas internasional? Begitulah kira-kira tanggapan banyak orang. Namun setelah si blogger menulis dan menyuguhkan fakta, komentar malah berbalik arah, pujian terhadap Aya berbalik menjadi komentar pedas. Aya dicap tidak jujur. Selanjutnya banyak yang meremehkan Aya, meskipun banyak juga yang sinis terhadap tulisan di blog dan menganggap penulis blog tersebut iri. Seorang komentator pedas membuat blogger ini kembali menulis satu tanggapan lagi di blognya. Pemberitaan ini selain ramai di Kaskus juga diposting ulang oleh banyak sekali blogger. Perdebatan di blog tersebut rupanya berujung pangkal pada sorotan tentang bagaimana novel ini terbit. Setelah tahu buku itu self publish, si pemilik blog menuduh Aya tidak proporsional (dalam pemberitaan) dan memandang buku itu biasa saja. Setidaknya itulah yang tercermin dari tanggapannya seperti yang ia tulis “But, sorry to say, NOTHING SPECIAL about Aya Lancaster -except she’s famous now, thanks to misguiding articles.” *** Dalam sebuah wawancara, Aya sendiri mengaku bukunya banyak ditolak oleh penerbit lokal di Indonesia. Namun, ketika ditawarkan di penerbit asing malah diterima dan kini sudah beredar di banyak negara; Eropa, Jepang, Singapura dan Amerika Serikat. Sebenarnya ini adalah lompatan yang bagus bagi Aya sendiri. Bukunya tak lagi hanya dinikmati di Indonesia, tapi juga bisa dijual dan dibaca banyak orang di luar negara berbahasa Indoensia. Bukunya telah dipasarkan di Amazon dan Barnes and Noble. Selain itu katanya novelnya itu juga sudah diresensi oleh Reader Digest. Yang membuat polemik dan patut disayangkan sebenarnya adalah ketidakjujuran Aya dalam menjelaskan bahwa AuthorHouse, penerbit novelnya itu ternyata “hanyalah” sebuah self publishing; Aya sendiri yang membiayai penerbitan tersebut dan AuthorHouse hanyalah sebuah “jasa” penerbitan yang memfasilitasinya. Aya seperti cenderung menutupi fakta, hal ini terlihat dari fan pagenya Aya di mana ia cenderung tak mau membalas dengan terus terang menjelaskan mengenai penerbitan bukunya. Jika saja sejak awal Aya jujur, mungkin tak akan terjadi polemik yang lumanyan panjang. Namun bagi saya sendiri, bukan di situ permasalahannya! Mungkin Aya kurang PD dengan novel self publishingnya. Atau ia menganggap rendah sebuah penerbit mandiri yang ia pakai. Sebab ia merasa berat untuk mengakui bukunya diterbitkan secara self publish. *** Sebelum berlanjut membincangkan Aya dan jalur penerbitan bukunya (yang sebenarnya tidak terlalu signifikan untuk dibahas) ada baiknya kita melihat dulu dan memahami, apa dan bagaimana sesungguhnya self publish tersebut. Setidaknya pada bagian apa saja yang harus dilewati, baik penerbitan secara konvensional atau penerbit mandiri yang akrab disebut self publish. Self publish memberi titik terang dalam dunia perbukuan di dunia dan Indonesia. Sejak mesin Xerox ditemukan pada tahun 1970-an, otomatis produksi barang cetakan menjadi semakin gampang. Sejak itulah tekhnologi Print On demand mulai berkembang pesat. Di Indonesia sendiri, sistem ini mulai popular sejak sepuluh tahun belakangan ini. Sejak sistem ini mulai dikenal luas, dunia penerbitan dan perbukuan seolah mengalami sebuah kemajuan yang pesat. Pola sentralisasi produksi perbukuan tidak hanya didominasi oleh penerbit saja. Belakangan kontrolnya mulai dipegang penulis, beberapa penerbit kecil dan beberapa penerbit penyedia layanan jasa ini. Ada banyak misspersepsi tentang self publish. Self Publish adalah ban serep, begitulah anggapan banyak orang. Sistem ini dipaki jika (1) sebuah naskah ditolak penerbit besar, atau (2) sebagai batu loncatan membangaun nama sebelum dilirik penerbit besar, atau juga (3) jalan pintas menerbitkan karya. Kesimpulan ini saya dapatkan dari beberapa penulis yang secara jujur mengakui hal tersebut. Juga dari asumsi saya melihat sikap Aya. Beberapa tanggapan kecewa atas pemberitaan Aya yang tak jujur akan bukunya, jelas menujukkan bahwa masih ada beberapa misspersepsi tentang penerbitan buku secara self publish dan melewatai jalur konvensional. Setidaknya, saya menangkap ada praktek atau asumsi bahwa penerbit major konvensional itu punya standar yang luas dan ketat dalam menerbitkan dan menerima naskah, sementara penerbit indie tidak. “Kalian hanya cukup punya tulisan, duit, dan bukumu akan terbit.” Memang benar seperti itu di satu hal. Tapi ada banyak hala yang tak disadarai oleh banyak penulis, bahwa selain hanya ditulis, dicetak dan dipasarkan, buku punya banyak sekali prosedur. Sebab ketika ada beberapa sesi yang dilompati, buku menjadi seolah sebuah barang produksi biasa. Seperti buah-buahan. Selesai berbuah, langsung dipetik dan dimakan. Tidak dipikirkan untuk dicucui, diolah dan dikreasikan agar rasanya lebih enak dan bisa dinikmati. *** Bagian terpenting dari sebuah buku pasca selesai menulis bagi saya adalah editing atau penyuntingan. Tentu saja editing di sini tidak semata-mata hanya pengecekan tanda baca dan pembenaran ejaan saja. Tapi editing menyangkut banyak sekali hal. Restrukturisasi kalimat yang kacau, koherensi kalimat, gagasan, pengaturan plot, penempatan ulang ide hanyalah sedikit bagian dari editing. Bahkan termasuk pilihan font, sudut pandang penulisan dan sebagainya. Pada sisi inilah, peran fital seorang editor bisa kita lihat. Setelah editing, maka proses lain berikutnya bisa dilanjutkan; layout, cover, proof, cetak, promosi dan distribusi. Ketika memutuskan self publish, beberapa hal tadi juga harus harus diperhatikan, sehingga tak ada lagi anggapan miring bahwa sebuah buku terbitan penerbit besar jauh lebih bagus dengan penerbit indie. Ini adalah asumsi yang salah. Dan asumsi ini lahir dari beberapa praktek self publishing yang salah juga. Termasuk oleh beberapa penulis yang melakukan kerja-kerja self publishing. Buku tak sesederhana itu. Ketika seorang penulis sudah melalui step by step proses tadi, buku tersebut bisa disetarakan, atau bahkan bisa jauh lebih bagus dari buku garapan penerbit. Bukankah tak ada jaminan bahwa Bentang atau Gramedia bisa lebih bagus dari sebuah penerbitan kecil yang mungkin hanya berada di pojokan gang di Jogja atau Bandung? Bagi saya, nama bukanlah ukuran. Ada banyak penulis self publish juga memakai jasa editor freelance yang bagus. Editor freelance bahkan menjadi sebuah pekerjaan yang tak mesti harus berkantor di penerbitan, tetapi sebuah kerja professional sendiri dan bisa dipakai oleh siapa saja. Dengan mengontak dan kerjasama bersama editor, buku bisa dipoles jauh lebih sempurna dari naskah awalnya. Aya seharusnya tidak malu Jika ingin jujur, tak ada yang salah dengan Aya sebenarnya. Selain sikap ketidakjujurannya itu sendiri. Bagaimana pun, ia telah menempuh sebuah cara untuk memasarkan gagasannya bagi orang lain. Mari kita bayangkan, bagaimana proses ketika dia menerbitkan bukunya di luar negeri. Kalau naskah awalnya adalah bahasa Indonesia, tentu Aya melakukan usaha lain lagi untuk menjadikan bukunya menjadi bahasa asing. Entah ia menerjemahkan ulang bukunya, atau memakai jasa penerjemah juga untuk buku tersebut. Hingga saat ini, saya pun belum membaca buku Aya dan tak tahu bagaimana isinya. Yang jelas. Dunia yang makin terbuka membuat kita bisa saja menjadi penulis di luar bahasa kita. Terlebih lagi dengan adanya blog atau toko buku online yang sudah benar-benar menerobos batas territorial. Mungkin (bahkan) seorang penulis tak butuh penerbit “indie” luar negeri (lagi). Mereka cukup menerjemahkan bukunya lalu intens di forum penulis atau pembaca internasional yang tak hanya berbahasa Indonesia, lalu bukunya sudah bisa go internasional. Tak ada hambatan untuk menyampaikan gagasan, juga untuk publikasinya ke seluruh dunia. Bukankah kita juga bisa membeli buku di Amazon atau Barnes and Nobel dari kamar saat ini juga, memesan di websitenya dan membayar dengan PayPal atau kartu kredit? Lalu apa masalahnya? Harusnya, kita bahkan tak perlu juga memperdebatkan buku lokal dan internasional. Aya telah memulai debut yang bagus. Dan bagi saya tak ada beda apapun antara AuthorHouse, dengan Penguin, AuthorsDen dan lain sebagainya. Self publish bukan aib, bukan juga jalan pintas. Self publish itu jalan yang sama dengan penerbitan biasa. Ia adalah salah satu cara, dari penulis, meuju pembaca, entah via toko buku atau direct selling. Maka jangangan takut dan malu. Nah, menegenai promosi yang bombastis, saya rasa sah-sah saja. Tinggal pembaca saja yang selektif. Masak sih seorang pembaca hanya akan percaya dengan pemberitaan seperti itu. Apakah Anda adalah salah satu orang yang selalu membeli buku dengan logo best seller, inspiratif, menggugah iman atau buku dengan taburan endorsement orang beken? Percayalah, banyak buku yang dicetakan pertama sudah dituliskan best seller. Sama ketika seorang pedagang apel di sebuah pasar bisa mengklaim ini apel Malang, ini apel Wasington. Semuanya hanya demi penjualan dan bisnis. Dunia begitu terbuka dan begitu banyak celah. Teliti sebelum membeli. Kepada Aya, saya ingin mengucapkan selamat. Congrats, Aya! Tapi kamu tak perlu malu mengakui bukumu kamu terbitkan sendiri. @Irwanbajang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H