Mohon tunggu...
Irwan Bajang
Irwan Bajang Mohon Tunggu... Penulis, Editor, Konsultan Perbukuan, -

Penulis, Blogger, Konsultan Perbukuan. Juga Tukang Masak. Pendiri @Indiebookcorner

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Denny JA, King Maker yang Tak Pernah Salah

7 Januari 2014   23:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:02 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ingat, sekitar tahun 2009, ada seorang penulis muda yang menerbitkan buku dan diangotot ingin mendapat endorsment dari Sapardi dan Sujiwo Tejo. Hanya endosment singkat. Mungkin satu dua kalimat pujian yang bisa ia taruh di sampul belakang puisinya sebagai alat promosi. Saya sudah bilang, mereka pasti sibuk dan tidak ada waktu untuk membaca puisi tersebut. Tapi karena kawan saya ini ngotot dan saya diminta membantu, maka saya harus memenuhinya. Sekaligus saya ingin membuktikan omongan saya. Saya penuhi permintaan  kawan saya ini. Saya kirim pesan di facebook untuk Sapardi dan pesan singkat dari ponsel saya ke Sujiwo. Diawali dengan perkenalan diri dan menawarkan puisi kawan saya itu, saya meminta kesediaan Sapardi untuk membaca dan memberi komentar. Tebakan saya tidak meleset: maaf saya sedang sibuk banyak sekali pekerjaan. Sujiwo Tedjo? Tidak menjawab. Baiklah, terima kasih.

Dalam perkembangan sastra terbaru, setiap hari muncul banyak penulis baru, penulis yang bahkan sangat punya potensi untuk dibicarakan. Tapi fenomena sehat itu tak pernah terjadi. Dalam dunia puisi misalnya, ada Indrian Koto, Thendra BP, Ragil Sukriwul, Dea Anugrah, Rozi Kembara, Halim Bahriz,  Mario Lawi (dan beberapa deret nama yang saya tahu lainnya). Mereka menulis dengan ciri dan gaya masing-masing dan punya kecendrungan kuat. Kenapa karya mereka tidak diulas sedemikian rupa? Tidak diperhatikan banyak orang seperti memperhatikan Denny JA yang baru saja muncul? Sehebat apa tulisan Denny JA ini, tiba-tiba muncul dan mendapat tempat, dibicarakan dan bahkan mendapat legitimasi genre baru sastra Indonesia dari banyak pihak?

Dalam kariernya, Denny JA polpuler karena seringkali berhasil memprediksi kemenangan calon pemimpin dalam pilkada atau atau pemilu, sejak 2004. Ia adalah orang yang berani mengiklankan prediksinya di media nasional, bahkan 10 hari menjelang pencoblosan.  Denny JA diberi label King Maker oleh banyak media. Ia membantu kemenangan presiden dua kali (2004, 2009), 23 gubernur dari 33 propinsi seluruh Indonesia dan 51 bupati/walikota.  Ia memenangkan semua pemilu presiden langsung yang pernah ada di Indonesia ini. Ia memenangkan lebih dari 60% gubernur seluruh Indonesia. Melalui enterpreneurshipnya, ia membuat pekerjaan “konsultan politik” menjadi profesi baru yang sangat berpengaruh bagi politik nasional. Dengan prestasi prestisiusnya ini, hampir  semua partai politik besar memakai jasa survei opini publik untuk hasil pemilihan yang maksimal.

Untuk apa Denny JA masuk ke ranah sastra? Kenapa Denny tidak hanya menjadi orang yang—misalnya—membuat penghargaan sastra, bikin perhelatan sastra yang besar dan acara lain yang bisa membuat banyak orang sastra berterimakasih padanya? Bukankah Denny adalah entrepreneur sukses selain juga adalah pesohor politik? Kekayaannya tidak akan habis hanya gara-gara mendanai acara semacam itu.  Jaringan politisi dan bisnisnya tentu juga akan banyak mendukung kegiatan itu jika Denny mau.

Kenapa Denny JA harus masuk di ranah penciptaan? Penciptaan sebuah karya. Apa pentingnya? Untuk apa Denny menjadi penyair, masih kurangkah jumlah penyair di Indonesia? Mungkin Denny sedang bermain di wilayah bisnis dan politik. Mungkin sastra hanyalah jalan. Dalam karier dan bergaining possision di dunia poiltik plusentrepreneurship, hal ini sangat penting bagi Denny JA.

Denny JA seperti pengakuannya dalam sebuah tulisan di Jurnal Sajak—di mana Acep Zamzam Noor menjadi Editornya—ia sedang melakukan branding. Membuat sebuah alamat bagi karyanya. Ia mengadakan survei terhadap puisi-puisi yang tayang di koran nasional, sample penelitainnya adalah orang-orang yang diminta membaca dan menilai puisi Indonesia. Hasilnya, puisi Indonesia susah dipahami, terlalu tinggi di awang-awang. Lalu Denny membuat genre baru, persis di dunia bisnis; mencari differesiasi produk, promosi dan marketting adalah ujung tombaknya. Ia memilih banyak nama yang bisa memacu majunya sebuah brand yang ia luncurkan. Produk barunya adalah Puisi Esai.

Jika iklan sampo antiketombe dibintangi oleh gadis terkenal di tv, cantik dan berambut indah, maka iklan rokok diwakilkan pada lelaki petualang yang perkasa. Karena Denny JA memiliki produk puisi/sastra, maka ia juga harus mencari artis-artis yang tepat; penyair terkenal, dramawan, sutradara, penyair, kritikus. Merekalah yang harus dijadikan simbol dan brand ambassador.Tak lupa juga alih media menuju film, teater, lukisan, dan tentu saja dengan artis yang berbeda. Ini adalah cara bisnis dan promosi produk yang tepat.

Hasilnya? Tentu saja sangat memuaskan. Denny adalah businessman yang tangguh. Sepuluh bulan sejak 7 Januari 2013, sejak diluncurkannya, www.puisi-esai.com telah diklik lebih dari 7 juta kali. Tentu saja ini bisa menjadi catatan “kuantitatif”—meminjam bahasa survei dan penelitian—berapa jumlah manusia yang berkunjung dan datang membaca sajaknya. Tidak alamiah? Tentu saja! Dengan membeli sebuah akun sajak dengan followerlebih dari satu juta, Denny JA mendekatkan karyanya kepada generasi paling terbaru, dengan cara yang sangat baru. Ia memperkenalkan karyanya lewat twitter, langsung dari genggaman tangan hampir semua manusia dan remaja kelas menengah Indonesia. Kemudahan akses untuk membaca puisi itu melalui jaringan twitter, ponsel pintar dan internet adalah langkah pengenalan produk yang paling banyak dipakai para pengusaha di dunia.

Didukung popularitas seperti itu, tak heran jika banyak orang berlomba mengikuti sayembara yang dia adakan. Honor 50 juta adalah angka yang mencengangkan.

Seorang peresensi buku di koran membutuhkan lebih dari 100 kali dimuat untuk memperoleh honor sebesar hadiah lomba itu. Artinya, si tukang resensi tersebut harus membaca dan menulis lebih dari 100 buku dan dimuat lebih dari dua tahun tanpa bolong di rubrik resensi sebuah koran. Itupun kalau dimuat dan tidak ada saingan yang berarti. Itupun kalau koran tidak sedang punya berita atau iklan penting lain dan tidak menggusur rubriknya. Seperti nasib puisi, cerpen yang bisa tiba-tiba kosong karena digusur konten lain secara mendesak.  50 juta adalah angka yang menggiurkan bagi para peresensi. Maka ramailah hajatan itu.

Selain itu, karya Denny JA dibuat dalam bentuk film, puisi-puisi esai karya Denny JA dalam buku Atas Nama Cinta juga dibuatkan video pembacaan puisi, video klip yang melibatkan para sastrawan—dan budayawan—Putu Wijaya , Sutardji Calzoum Bachri, Niniek L Karim , Sujiwo Tejo, dan Fatin Hamama. Luar biasa. Tidak alamiah? Tentu saja. Mana ada dalah sejarah sastra Indonesia sebuah karya diapresiasi segegapgempita begini. Pernahkah karya Chairil Anwar, penyair paling populer di Indonesia diapresiasi sehebat dan sesemarak ini? Tidak mungkin. Untuk hajatan besar semacam ini, dibutuhkan banyak sekali dana. Tak ada orang yang mau gratis untuk membuat hajatan besar apresiasi seorang tokoh. Pun jika tokoh itu adalah tokoh pujaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun