Mohon tunggu...
Irwan Bajang
Irwan Bajang Mohon Tunggu... Penulis, Editor, Konsultan Perbukuan, -

Penulis, Blogger, Konsultan Perbukuan. Juga Tukang Masak. Pendiri @Indiebookcorner

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Denny JA, King Maker yang Tak Pernah Salah

7 Januari 2014   23:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:02 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seno Gumira Ajidarma adalah seorang cerpenis dan jurnalis. Ia pernah menerbitkan bukuKetika Jurnalistime Dibungkam, Sastra Harus Bicara.  Di buku itu, Seno sedang ingin memberi sebuah solusi, bahwa sastra bisa menjadi cara ungkap akan fakta yang ada, fakta yang tabu disampaikan secara jurnalistik di era Orde Baru. Orde Baru menekan jurnalis dan media dengan represi. Jika mengancam, tangkap jurnalisnya, bubarkan medianya. Maka selain menampung kegelisahan para jurnalis, Seno ingin bilang bahwa sastra bisa menjadi solusi yang aman, sebab sastra—dengan caranya sendiri—lebih bisa menyentuh dan memperingati. Atau dengan alasan yang gampang, jika Suharto marah, seorang bisa berlindung dengan berujar, ini kan fiksi, Jendral.

Tentu saja maksud saya tak sesederhana itu. Ada banyak dimensi lain dalam dunia sastra yang bisa dipakai untuk membuat sebuah kritik. Memuat sebuah keluh kesah dan protes sekaligus. Jurus yang ditawarkan Seno tak semuanya terbukti aman. Dengan menulis fiksi satire, meskipun fiksi, seorang sastrawan bisa tetap diciduk, dibuang dan dipenjarakan. Sastra adalah cara lain berbicara tentang fakta. Di antara garis batas fakta dan fiksi itulah sastra bermain dengan cara yang unik. Dengan cara sastra.

Meskipun menulis cerpen dan lebih banyak berangkat dari temuan kerja jurnalistiknya di lapangan, cerpen Seno tetap tidak bisa disebut “Cerpen Jurnalistik”. Kumpulan cerpen Saksi Mata, Penembak Misterius tetaplah kumpulan cerpen, bukan kumpulan cerpen jurnalistik. Jurnalistik tetaplah jurnalistik dan cerpen tetaplah cerpen. Setahu saya, belum ada juga kritikus yang melakukan percobaan kritik dan menghasilkan sebuah genre “sastra baru” dari dua obyek tulisan tersebut. Dan saya rasa memang tak perlu ada. Karena Seno adalah cerpenis ketika menulis cerpen, dan ia adalah jurnalis ketika membuat tulisan jurnalistik. Kedua identitas itu berbeda dan tak bisa disatukan.

Hal ini senada dengan kemunculan dan populernya jurnalisme sastrawai. Juranlisme ini tak bisa disebut sastra, meskipun ia mengombinasikan tulisan jurnalistik dengan gaya penulisan sastra. Dua hal ini tidak sama. Kecuali kita membuat generalisasi ngawur tentang jurnalisme campur sastra, seperti kita mencampur bensin dengan oli, lalu memberi label baru “bensin oplosan”.

Penjelasan ini bagi saya cukup untuk menjelaskan di mana letak perbedaan karya nonsastra dan sastra. Termasuk esai dan puisi. Esai berjalan dengan caranya sendiri, ditulis dengan standar dan kaidah esai. Begitupula dengan puisi. Menggabungkan puisi dan esai bisa saja dilakukan. Namun , esai adalah esai, dan puisi adalah puisi.

Dalam karya sastra terdapat unsur fakta yang dibicarakan dengan cara fiksi, ini adalah kelebihan yang dimiliki sastra, sekaligus kekurangannya. Bagaimanapun sastra tak bisa dijadikan rujukan sahih atas sebuah fakta yang terjadi. Berbeda dengan karya jurnalistik, berbeda juga dengan karya esai yang cenderung beropini dengan menghadirkan rujukan referensi. Sekali lagi, puisi adalah puisi dan esai tetaplah esai. Fiksi sebagai landasan utama karya sastra tak lantas membuatnya hanya berisi imaji kosong yang datang tanpa alasan. Bukankah mustahil sebuah fiksi tak mungkin muncul begitu saja tanpa ada persentuhan si penulis dengan fakta di sekelilingnya?

Sutardji Calzoum Bachri memuji Denny JA dalam  satu tulisannya yang berjudul Satu Tulisan Pendek atas Lima Puisi Panjang.  Tulisan ini ia alamatkan pada buku Atas Nama Cinta yang menghimpun 5 “Puisi Esai” karya Denny JA . Bagi saya, puisi esai adalah puisi pintar. Yang dengan berbagai data, fakta, argumentasi, bisa memberikan kepintaran bagi pembacanya untuk memahami dan menghayati persoalan-personal yang terkait dengan masalah atau konflik sosial.”

Bukan hanya Sutardji yang membahas puisi esai dengan catatan yang panjang dan serius. Ada puluhan sastrawan—yang kalau bisa atau mau disebut senior—menulis untuk mengapresiasi tulisan Denny JA. Puluhan nama lain bisa kita temukan di lomba resensi yang digelar untuk buku ini. Beberapa tulisan tersebut juga dimuat di Jurnal Sajak yang terbit setiap setiap bulan, diasuh oleh para penyair Indonesia. Juga tentu saja banyak puisi esai ditulis di sana oleh penyair. Semua tulisan tersebut muncul dalam waktu yang sangat pendek. Tak lebih dari setahun.

Sapardi bahkan menulis, Dalam kelima sajak yang dimuat dalam buku ini, Denny mengklasifikasikan semua itu dalam masalah diskriminasi. Setidaknya, itulah yang menjadikan gagasan dan karangan yang diberinya label Puisi Esai penting untuk dicatat dalam perkembangan puisi kita.” Sebuah pujian yang mengharukan sekaligus bombastis. Penggalan akhir kalimat ini terpampang di sampul depan buku Atas Nama Cinta. Dan dalam waktu yang singkat, dengan caranya, Denny sudah berhasil menjadi sorotan—setidaknya bagi yang mau menyorotnya—dan bukunya menjadi ramai dibicarakan.

Denny JA bukan penyair, bukan juga sastrawan yang lama berproses dan dikenal di wilayah sastra. Tapi respons yang muncul atas karyanya lahir begitu deras dari para ‘begawan’ sastra Indonesia. Denny JA adalah sebuah fenomena sastra.

Tidak alamiah. Oh, tentu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun