Mohon tunggu...
Irwan Bajang
Irwan Bajang Mohon Tunggu... Penulis, Editor, Konsultan Perbukuan, -

Penulis, Blogger, Konsultan Perbukuan. Juga Tukang Masak. Pendiri @Indiebookcorner

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Eka Kurniawan: Masalah Burung yang Tak Bisa Berdiri dan Kemesuman Penulis Stensil

19 Juli 2014   12:26 Diperbarui: 23 April 2016   00:36 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pilihan penggalan adegan yang pendek menjadikan novel ini seperti film-film dengan kilasan ingatan tokoh yang tumpang tindih, tapi berhasil disusun tanpa membuat jengah pembaca yang mengalami percampuran plot yang sangat acak. Bisa jadi cara ini dipilih Eka dan terpengaruh dari kerjaan sehari-harinya yang konon adalah penulis skenario. Pilihan kalimat yang pendek, dialog yang kadang tanpa apostrop atau tanda kutip seperti kesan penulis dalam buku Fredy S yang memang kadang lupa bagaimana menulis dialog. Namun, di situlah, Eka melakukan penghematan dialog yang tak perlu dan cenderung terkesan berhasil. Tentu ini disengaja dan penuh risiko. Eka mengambil risiko itu.

Secara gagasan, novel ini benar-benar sangat sederhana, tak ada beban banyak yang harus ditanggung pembaca, tak ada pesan moral dan pesan lainnya. Novel ini mengingatkan saya pada The Stranger karya Albert Camus yang terbit 1942, dua-empat dekade sebelum ledakan novel stensilan di Indonesia. Sama seperti Camus yang memakai kalimat-kalimat sangat pendek, kelakuan tokoh-tokoh yang absurd, Eka juga melakukan hal yang sama. Termasuk tidak memberi jeda pada pembaca untuk bersimpati. Mengingatkan kita juga pada film-film Quentin Terantino yang kadang sadis, vulgar, cepat, dan absurd. Alih-alih bersimpati, pembaca cenderung merasakan humor pedih yang memosisikan tawa dan derita di satu jalan yang berjajaran.

Satu lagi keberhasilan penulis adalah pada laju plot yang cepat. Membaca buku ini kita disuguhkan tema  suspense tanpa adegan kejar-kejaran dan penyelidikan detail siapa membunuh siapa, seperti misalnya di novel-novel Agatha Christie, Dan Brown, Paul Sushmen atau John Grisham. Ini adalah novel berplot ‘agak cepat’  tapi bukan dipicu adegan suspense sesungguhnya. Ketertarikan pembaca—terutama saya—adalah pada bagaimana konflik-konflik manusiawi yang disusun secara acak dan berfungsi membuat kita penasaran. Penulis berhasil meletakkan secara acak beberapa adegan, ingatan dan runtut kejadian, sehingga mozaik-mozaik cerita utuh bisa kita temukan setelah menyusun sendiri adegan tersebut usai membaca. Dalam novel ini juga tidak ada adegan pembunuhan atau penemuan mayat yang ganjil di prolog seperti lazimnya novel thriller.Peristiwa menariknya hanyalah burung yang tak bisa bangun. Apa, Kenapa dan bagaimana kejadiannya, itulah yang menjadi cikal bakal cerita sampai akhir. Ending mengesankan memberi ruang dialog bijak antara burung dan pemiliknya, bahwa mereka bisa jadi dua makhluk yang berbeda, hanya sejalan saat sama-sama ingin ngencuk.

Jika saya diminta menilai, saya tak ingin menilai bagaimana gaya bahasa dan susunan kalimat dalam buku ini serta bagaimana tokohnya hidup dan tersusun sebagai cerita oleh penulisnya. Saya lebih suka menilai novel ini sebagai sebuah keberanian penulis. Banyak para pembaca yang seolah-olah dibuat penasaran; suguhan apa yang dimunculkan Eka di novel terbarunya yang berjarak jauh antara karya sebelumnya. Tadinya saya mengira Eka akan sangat terbebani, bagaimanapun jeda yang agak panjang, sekitar 10 tahun dari karya sebelumnya menjadikan hal yang lumrah bagi seorang penulis—yang pernah dianggap sangat berhasil dengan novelnya—muncul kembali dengan karya terbaru. Tentu mau tidak mau, pembaca setianya juga akan memulai atau membuat ekspektasi yang lebih. Bagi pembaca sejenis saya, sebenarnya tak ada tawaran baru, selain—sekali lagi—hanya keberanian eksplorasi gaya penulisan. Dan untuk jeda yang panjang, Eka cenderung menghasilkan sesuatu yang  sedikit, meski yang sedikit itu cenderung berhasil.

Keberhasilan Eka yang lain terletak pada keberaniannya—yang saya yakin dengan sengaja ia lakukan—dalam memakai bahasa. Ia tak melakukan konsistensi yang utuh semisal menggunakan selalu apostrop dalam setiap dialog tokohnya. Dalam novel setebal 242 halaman ini, berserakan juga kata-kata yang kerap dihindari atau jarang digunakan dalam penulisan fiksi yang menjaga sopan-santun; kontol, memek, pejuh, puting, jembut, selangkangan, dan deretan kata sejenisnya dimunculkan bebas oleh penulis. Upaya ini barangkali adalah upaya pembebasan beberapa bahasa dari Kamus Besar Bahasa Indonesia yang jarang berani dikemukakan dan cenderung dianggap kasar. Kita kerap merasa kata sperma, penis, dan vagina lebih sopan dibandingkan pejuh, kontol, ataupun memek. Padahal kita keliru. Bahasa-bahasa yang tertidur di kamus dan jarang dibangunkan dalam karya sastra kita coba dihidupkan lagi dengan sadar dan sederhana. Seperti Ajo Kawir mecoba membangunkan burungnya.

Jika ada yang patut sangat disayangkan dalam novel ini, hal tersebut terletak pada ketidakjelian orang-orang penerbit yang bertanggung jawab pada terbitnya buku ini. Beberapa kesalahan ketik dan banyaknya kesalahan pemenggalan kata (hyphenation) di ujung kanan kalimat seolah-olah menunjukkan ketimpangan bagaimana usaha keras penulis tidak diimbangi kejelian produksi. Petugas tata letak (layouter) dan tukang koreksi bahasa (proofreader) bertanggung jawab untuk memperbaiki buku ini pada cetakan berikutnya.

Akhirnya, Eka benar-benar sedang hanya ingin mengajukan hal yang sangat sederhana. Ajo Kawir enggak bisa ngaceng dan ia berjuang untuk membuat burungnya bangkit kembali. Diramu sedikit dengan ilmu psikoanalisis ala Sigmund Freud, Eka memutuskan nasib Ajo Kawir dengan menghilangkan trauma masa kecil penyebab burungnya tak bisa berdiri. Si Burung akhirnya bisa berdiri usai bersanggama dengan Jelita si gadis buruk rupa di sebuah toilet pom bensin.

Belakangan Ajo Kawir sadar, Jelita ternyata memiliki paras mirip dengan Rona Merah. Entah titisan, entah hantunya. Lagi-lagi, tokoh-tokoh fiksi Eka, seperti pada dua novel sebelumnya, muncul dengan ajaib dan tak memerlukan asal usul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun