SEKITAR pertengahan 2019 lalu, publik Aceh sempat dihebohkan dengan wacana pelegalan poligami oleh Pemerintah. Wacana ini sempat menuai kritik hingga ke tingkat nasional.
Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Dr. Alidar M.Hum  mengatakan, tujuan dari melegalkan poligami karena maraknya pernikahan/perkawinan siri di Aceh, pernikahan siri membawa banyak mudzarat pada kehidupan berumah tangga karena banyak para suami yang tidak bertanggung jawab terhadap istri, terutama terhadap anak hasil dari perkawinan tersebut.
***
Dalam artikel ini, saya tidak sedang mempertentangkan kedudukan hukum poligami. Hal yang menarik menurut saya adalah angka pernikahan/perkawinan siri di Aceh. Perkawinan secara siri dampaknya sangat merugikan bagi si isteri, dan si anak si anak hasil perkawinan tersebut.
Tentunya jika si anak bisa memilih, dia tidak akan mau dilahirkan dari orang tua yang melangsungkan perwakinan secara siri.
Secara agama, anak tersebut diakui kedudukannya sebagai anak yang sah, namun dari perspektif hukum negara, anak hasil perkawinan siri disebut dengan anak luar nikah.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. Â 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Di Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, perkawinan baru lengkap dan sah secara hukum apabila telah dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) untuk pasangan muslim, dan di Dinas kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) untuk pasangan non muslim.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan secara jelas menyatakan, bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Secara hukum anak di luar kawin tidak mempunyai kedudukan yang sempurna dimata hukum seperti anak sah pada umumnya. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa anak hasil pernikahan/perkawinan siri adalah anak di luar kawin.
Ingat...meskipun perkawinan siri itu sah secara agama, namun karena perkawinan tersebut tidak dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka belum bisa disebut sebagai perkawinan yang sah, sehingga akibat hukumnya anak yang lahir dari perkawinan siri disebut sebagai anak luar kawin.
Apakah si anak berhak atas Akte Kelahiran?