Refleksi Budaya
POLITIK PANDAWA VERSUS KURAWA DALAM PRAKTIK HIDUP BERKEADABAN
Politik adalah makanan bathin kekuasaan. Darinya bisa muncul berbagai menu yang menyediakan pilihan, dari sekedar mencicipi sampai kepada kebutuhan untuk mengenyangkan hasrat berkuasa. Di Indonesia, yang katanya negeri berlimpah etika, bermandikan norma-norma, pemenuhan terhadap mencicipi atau pengenyangan pada makanan kekuasaan mengalami praktik anomali, perilaku yang menyimpang, kalau tidak mau kita katakan sebagai bablas sebablas-bablasnya.
Politik sebagai sebuah ‘konsumsi’ kemudian seperti Dewi Shinta yang mampu memaksa liur Rahwana, raksasa yang tegap perkasa, menetes tak terkontrol, mampu menurun-naikkan jakunnya yang penuh ditumbuhi brewok tebal. Dari bocah ingusan yang kebetulan keturunan politisi sampai kepada manusia yang tidak jelas asal muasal urat keturunannya, bernafsu menyantap politik, untuk satu kepentingan yang sama tentunya, berkuasa.
Lihatlah, apa yang terjadi setelah hingar bingar pemilu legislatif usai dilaksanakan. Kecurangan yang katanya muncul dimana-mana laksana rerumputan liar di musim penghujan, kemudian seakan menjadi stempel bagi sebuah stigma “untuk menang, cara apapun sah dilakukan”. KPU sebagai penyelenggara hanya bisa terdiam dipojokkan tapi lalu sibuk menyadur, meng-copy paste, hasil rekapitulasi pihak lain. Sementara dalam brankas mereka uang trilyunan rupiah seakan tak ada artinya digelontorkan negara bagi mereka.
Tapi, apalah daya kita, rakyat jelata, bukan siapa-siapa. Berteriakpun parau, fals terdengar. Hasil pemilu tetap diumumkan diiringi sambutan-sambutan para petinggi partai politik yang sumringah, walaupun tetap terselip ancaman-ancaman untuk menggugat hasilnya.
Baiklah kita bicara tentang pemilihan presidennya saja. Pemilihan pemangku kuasa teratas dalam hierarki berkenegaraan kita. Posisi yang selalu dipersepsikan oleh para jelata macam kita sebagai posisi maha luar biasa. Mengagumkan sekaligus menakutkan.
Yang menarik kali ini, muncul seorang yang katanya rakyat jelata, seorang pedagang mebel biasa yang kemudian terseret arus politik sehingga terlanjur menjadi walikota dan gubernur. Si empunya nama Joko Widodo ini kemudian termunculkan dalam spektrum pertarungan politik pilpres 2014. Laki-laki kurus tak terlalu tinggi yang rambutnya klimis berminyak inilah yang belakangan di propagandakan sebagai si sederhana, yang mau maju bersabung menjadi presiden. Lawannya tidaklah main-main, dari saudagar kaya yang berlimpah ruah, mulai dari harta maupun hutangnya, sampai kepada para mantan jenderal yang memiliki portofolio bertempur dan memimpin ribuan bahkan mungkin jutaan pasukan perang. Kita, sekali rakyat jelata, disuguhkan fragmen, sebuah pertunjukkan tentang pertarungan hidup mati antara kesederhanaan melawan kekayaan, keterbatasan melawan keberkuasaan, yang pada akhirnya mulai muncul yaitu kebaikan melawan kejahatan.
Kebaikan dan kejahatan dalam perspektif pewayangan seringkali dianalogikan sebagai pertarungan antara Pandawa dan Kurawa. Pandawa, sedikit namun santun, dipersepsikan selalu benar, baik dan jujur. Sebaliknya Kurawa sudah kadung diceritakan sebagai kumpulan segala kejelekan, mulai dari jahat, buruk rupa, curang dan selalu main keroyokan. Kisah legendaris Mahabarata menahbiskan tebalnya perbedaan Pandawa dan Kurawa tersebut. Mereka dikisahkan senantiasa teraniaya, terampas haknya, dibuat menderita, padahal mereka baik, jujur dan sekali lagi selalu benar. Kebaikan, kejujuran dan kebenaran yang diikhtiarkan para Pandawa kemudian mampu “mempengaruhi” para Dewa, para pengambil keputusan. Dan, walaupun tidak melalui bilik suara, para Dewa pun berkhidmat memenangkan Pandawa. Lalu bagaimana nasib Kurawa? Sebagai pihak yang dipaksa oleh alur cerita sebagai pihak yang dzalim dan kejam, maka Kurawa harus pasrah menerima takdir untuk kalah, tetapi bedanya mereka tidak punya mekanisme untuk menggugat kekalahannya seperti para caleg dan parpol di pemilu. Kurawa, yang karena kejahatannya lalu dihakimi oleh para Dewa untuk tidak menang.
Ketika pria sederhana dan lemah gemulai bernama Jokowi dihadapkan pada sosok gempal yang kebetulan mantan serdadu bernama Prabowo Subianto, sontak kemudian digulirkan sebuah perandaian, sebuah analogi. Pertarungan Jokowi versus Prabowo lalu dipersepsikan sebagai sebagai pertarungan ‘si baik’ dan ‘si jahat’, pertarungan Pandawa melawan Kurawa. Media sosial dan media-media mainstream kemudian berlomba-lomba mencitrakan keduanya dengan ceritanya masing-masing. Si sederhana, santun dan kemayu kemudian diluncurkan kesana kemari dalam irama-irama yang tercitrakan baik, sedangkan si gempal gagah perkasa yang temperamental digebuki oleh siraman-siraman tuduhan tentang perilaku keji karena dianggap menculik dan mendisain kerusuhan sekitar 16 tahun lalu. Kita, sekali-kali lagi dipaksa untuk menelan penokohan dalam kisah baik-jahat tersebut tanpa syarat.
Sejenak kita kembali kepada sekelumit cerita Pandawa-Kurawa yang luar biasa itu. Tak banyak orang tau bahwa kalau ditilik lebih dalam maka sejak awal Pandawasebenarnya sudah bisa melawan Kurawa. Mereka dilimpahi kesaktian perang, yang konon mampu menumpas ratusan keluarga Kurawa dalam waktu semalam. Tapi mereka membiarkan diri mereka “teraniaya” atau setidaknya dipersepsikan teraniaya, dalam pandangan para Dewa. Mereka sibuk mempengaruhi para Dewa dalam konteks pencitraan, agar Dewa kemudian berpihak kepada mereka.
Sedangkan Kurawa yang terlalu lurus-lurus saja, yang tak perduli kepada pencitraan, masabodo dengan image jelek dan jahat yang ditumpahkan kepada mereka, terus saja beraksi tanpa sadar bahwa nasib mereka ditentukan kepada pemihakkan Dewa-Dewa. Didalam barisannya berdiri para nasionalis-nasionalis tulen yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri jiwa raga bagi Hastinapura. Resi Bisma dan Adipati Karna serta Guru Dorna menjadi pungawa terdepan dalam barisan “tim sukses” Kurawa. Bagi pihak Pandawa, yang sebagian diantaranya bahkan dibesarkan oleh Kurawa, soal citra kebaikan lebih penting ketimbang soal-soal nasionalisme. Biarlah Hastinapura runtuh berkalangtanah, yang penting ‘kebenaran’ ditegakkan.
Maka kemudian para Dewa terpengaruh, kalau kita tidak berani mengatakan mereka terkena politik uang dan pencitraan oleh Pandawa. Dalam perang maha dahsyat yang bernama Bharatayudha, Pandawa berhasil menang karena kemudian didukung oleh para Dewa yang mabuk pencitraan lalu lupa bahwa Hastinapura telah terkorbankan. Resi Bisma dan Adipati Karna yang gugur dalam peperangan suci tersebut kemudian hilang lenyap dalam hingar bingar pesta pora kemenangan Pandawa. Para Dewa menangis atas tragedi tersebut, tapi semuanya sudah terlambat. Dalam kehancurleburan Kurawa, Duryudana, sang panglima Kurawa, gugur dalam kenistaan. Dari atas bukit singgasananya dipinggiran Hastinapura, Duryudana menemukan ajalnya dalam hati yang gundah gulana. Kesal, marah dan nelangsa karena merasa dikerjai oleh para Dewa yang mabuk pencitraan. Ruhnya terbang menuju nirwana sambil berbisik, hampir sama dengan desisan Pontsius Pilatus saat Jesus disalibkan, “saya tak bertanggungjawab pada apa yang akan terjadi”, gumamnya sinis.
Renungan budaya tetaplah hanya sebatas renungan, para Dewa dalam kisah Mahabharata adalah kita, para ‘kutukupret’ –meminjam istilah Thukul Arwana- yang hanya para jelata tetapi memiliki kekuatan penentu. Bedanya, kita diberi sebuah ruang suci untuk memutuskan, ruang yang namanya bilik suara. Kita tak harus tenggelam dalam mabuk-mabukan pencitraan seperti para Dewa yang keblinger. Kita ini tidak tinggal di khayangan, mayoritas kita masih terbiasa hidup dalam kesangsian. Terbiasa bernafas dalam kesempitan, dalam ketidakadaan, dalam kedukaan, dalam penggugatan-penggugatan kepada Sang Hyang Whidi karena merasa tidak dilimpahi keadilan.
Kita yang katanya suaranya disamakan dengan suara Tuhan kali ini memang harus menelan perang ini sebagai sebuah keniscayaan yang tidak terelakkan. Tapi, ironisnya, kita yang disuruh para laskar perang tersebut untuk jadi wasit. Mereka sibuk mempengaruhi wasit, mulai dari peredaran issue, tampilan media, sampai nanti mungkin saja ditebarkan uang. Kita dipaksa, diperkosa untuk menentukan sikap, memihak si baik atau si jahat, membela Pandawa atau Kurawa. Padahal terlalu banyak kisah tersembunyi dari Pandawa dan Kurawa, terlalu banyak pula pastinya kisah tersebunyi dari pertarungan calon presiden kali ini. Kebenaran dihadapkan kepada nasionalisme. Teringat aku kepada kata-kata ajaib yang justru diucapkan oleh seorang presiden dari negeri Paman Sam, John F. Kennedy “right or wrong this is my country”, benar atau salah inilah negara saya. Entah apakah Kennedy pernah membaca kisah Mahabharata atau tidak, tetapi itulah sikap seorang patriot, sikap seorang yang cinta kepada tanahairnya. Lalu, kepada siapa para jelata akan berpihak? Sama seperti apa yang diputuskan para Dewa dalam perang Mahabharata atau justru sebaliknya? Hanya waktu yang akan menjawabnya. Wallahualam bissawab. Thabik.
Ditulis dipinggir jalan berdebu, menyatu dalam nafasnya rakyat jelata
Ditepian Jakarta, 12 Mei 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H