Sekali lagi, setelah berkali-kali saya menyaksikan acara debat terbuka yang berurusan dengan proses pencalonan presiden dalam Pilpres Juli mendatang, saya dibuat nelangsa melihat performa kelompok pendukung Prabowo Subianto.
Mengapa? Karena saya dapat pastikan di hampir semua debat terbuka yang ditayangkan di televisi nasional, kelompok pendukung Prabowo selalu dibuat terseok-seok, kalau tidak mau saya katakan kalah. Sejak masa pra pileg, saya menyaksikan performa Fadli Zon, yang (mungkin) hanya satu-satunya kader Partai Gerindra yang dianggap layak maju mewakili partainya, selalu saja berada dalam posisi yang “ditekan” tanpa mampu membalikkan keadaan dalam diskusi atau debat yang diadakan. Kita semua tahu bahwa memang dalam political-rummors, Prabowo diasumsikan memiliki terlalu banyak sentimen negatif yang menurut saya dihembuskan secara masif, dan itulah tugas juru bicara atau juru debat yang mewakili Prabowo agar bisa membalikkan keadaan sehingga mampu mengubah sudut pandang orang tentang Prabowo sekaligus ‘membunuh’ isu yang miring tentangnya.
Secara gamblang terlihat, bahwa ‘main-issue’ yang bolak-balik ditiupkan oleh kelompok pendukung capres lain (jokowi) adalah tentang persoalan penculikan aktivis, kerusuhan Mei 1998 dan proses pemecatan Prabowo dari dinas ketentaraan. Tidak banyak varian lain yang ditembakkan kelompok pendukung Jokowi, dan kalupun ada sangat tidak terlalu besar efeknya. Tetapi selalu saja, Fadli terseok-seok menghadapi lawan bicaranya, yang kebetulan biasanya adalah kader-kader PDIP.
Debat di acara Mata-Nazwa yang ditayangkan Metro tv Rabu malam lalu adalah puncak dari rentetan panjang kekalahan argumentasi kelompok pendukung Prabowo Subianto. Kenapa dikatakan sebagai puncak kekalahan argumentasi, dikarenakan dalam acara tersebut Prabowo-Hatta mengirimkan Machfud MD, sang Ketua Tim Pemenangan sebagai juru debat sesi pertama berhadapan dengan Anis Baswedan yang mewakili tim Jokowi-JK.
Sebelumnya, saya harus jujur katakan bahwa penunjukkan Machfud sebagai ketua tim juga tidaklah tepat. Saya punya argumentasi sendiri tentang itu. Dalam berbagai debat sebelum pendaftaran capres-cawapres saya sudah terlalu sering menyaksikan kader Gerindra dipojokkan dalam perdebatan menghadapi kader PDIP. Fadli, yang mungkin sehari-hari bersama Prabowo dan bahkan mengenal pribadi Prabowo sejak mungkin lebih dari 20 tahun lalu sekalipun tidak sanggup mengemas argumentasi didepan publik sehingga menciptakan persepsi yang berbeda tentang Prabowo. Bekal itu ternyata tidaklah cukup untuk mampu membela Prabowo dalam perdebatan. Lalu bagaimana Machfud yang tidak saja kurang ‘mengenal’ Prabowo, tetapi juga dipastikan tidak memahampi suasana psikologis yang terjadi antara Prabowo dan Gerindra, sehingga dapat membelanya dengan baik dalam perdebatan. Untuk hal ini, saya mengapresiasi keputusan Jokowi-JK dan partai pendukungnya yang mendaulat Tjahyo Kumolo, yang kebetulan adalah Sekjen PDIP, sebagai ketua tim pemenangannya. Sebagai kader PDIP, Tjahyo bukan saja mengenal Jokowi tetapi dipastikan mengetahui anatomi dan karakteristik sang capres yang kebetulan berasal dari partai yang sama.
Dan alhasil, seperti dugaan saya, Machfud tidak dapat mengungguli Anis, yang dalam tim Jokowi-JK bukanlah ketua melainkan hanya seorang juru bicara. Saya tak bisa bayangkan kalau Machfud berhadapan dengan Tjahyo.
Perdebatan selanjutnya adalah antara (lagi-lagi) Fadli Zon dengan Maruarar Sirait. Diperdebatan sesi kedua inipun Fadli mengalami nasib yang sama kesekian kalinya. Blunder-blunder dimunculkan olehnya ketika Ara, demikian Maruarar dipanggil, melakukan tekanan sehingga mengganggu konsentrasi Fadli. Dan hasil akhir, sekali lagi, harus saya berikan poin kepada tim Jokowi-JK.
Sesi debat ketiga adalah sesi yang melengkapi kekalahan debat tim Prabowo-Hatta. Ketika Ahmad Yani yang merupakan kader PPP, partai pendukung Prabowo-Hatta, dikuliti habis-habisan oleh Adian Napitupulu, kader PDIP dan mantan aktivis Forkot era 1998. Seperti pertandingan yang menggunakan sistem the best of three, maka saya memberikan nilai keunggulan mutlak kepada tim Jokowi-JK.
Dari rentetan cerita tadi, maka saya melihat bahwa hampir ditiap debat, tim Prabowo-Hatta kalah dalam berbagai aspek berdebat. Tim ini kurang referensi tentang Prabowo-Hatta, kering dialektika, tidak ‘kenal’ lawan debat, miskin pengetahuan tentang capres-cawapres lawan, tidak dingin menghadapi situasi dan kurang tangkas menangkap kalimat demi kalimat yang dilontarkan lawan debat. Seperti hal nya PDIP yang mengerahkan kader-kader terbaiknya untuk maju berdebat, maka seharusnya Gerindra melakukan hal yang sama. Saya tak habis pikir apabila untuk agenda debat, hampir selalu Fadli Zon yang muncul mewakili. Sudah terlalu banyak daftar panjang kekalahannya dalam debat publik. Tanpa bermaksud meremehkan kecerdasan Fadli, saya harus katakan, berdebat tidak sama dengan menulis buku. Faktor kelincahan berpikir yang menghasilkan jawaban cepat dan menukik menjadi penentu dalam berdebat. Dalam perdebatan tidak ada waktu yang cukup panjang untuk berpikir. Maka seorang cendikiawan seperti Fadli tidaklah cocok duduk di kursi panas itu.
Sebaliknya Adian Napitupulu, yang telah berulang-ulang membuat Fadli menjadi bulan-bulanan dalam debat terbuka justru sebaliknya. Mungkin saja Adian tidak se-cendikia Fadli, tetapi kecepatan dan kelincahannya berpikir membuatnya selalu menang berargumentasi. Seorang kawan berkilah, terang saja Adian menang karena dia adalah mantan aktivis sedangkan Fadli, mungkin lebih sering dibalik buku-buku. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah kurang aktivis di partai Gerindra, atau apakah kurang aktivis di tim Prabowo-Hatta?
Perdebatan mungkin bukan satu-satunya faktor seorang capres atau cawapres akan terpilih kemudian. Tetapi perdebatan publik adalah sebuah wahana pengetahuan kepada khalayak ramai tentang figur capres-cawapres. Seperti seorang sales, dia harus mampu berargumentasi bahwa barang jualannya-lah yang nomor satu dan pantas dibeli. Kalau sang sales saja sudah termehek-mehek ketika diuji oleh sales produk lainnya tentang “kelayakan jual” barang dagangannya maka bagaimana ia mampu meyakinkan banyak orang untuk mau membeli. Sebuah alasan yang ringan dan sederhana. Dan teringat saya pada statemen Adian dipenghujung acara debat yang ‘memuji’ Prabowo sebagai “pengurus kuda yang baik”, dan Yani hanya tersenyum dengan wajah merah padam. Sekali lagi menunjukkan fakta bahwa berdebat, butuh orang yang cepat dan paham. Dan debat terbuka adalah alat ukur yang paling sederhana untuk mengukur kualitas propaganda sebuah tim pemenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H