Arifinto, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, menjadi bulan-bulanan media setelah tertangkap kamera wartawan sedang membuka link porno pada saat sidang paripurna. Media massa cetak maupun elektronik, termasuk jejaring sosial, mengeksplorasi berita seputar Arifinto.
Berbagai pihak mengecam kelakuan itu. DPR yang namanya memang sedang merosot tajam, kian diperkeruh oleh aksi anggota DPR yang satu ini. Oleh masyarakat, anggota DPR dinilai tak lagi mencerminkan sosok pemimpin. Perilaku mereka telah jauh menyimpang dari harapan rakyat.
Meski demikian, tidak sedikit pula yang membela Arifinto. Alasannya, Arifinto selama ini dikenal sebagai sosok yang religius, santun, dan tidak pernah berperilaku negatif. Bukan hanya di internal PKS yang mengatakan demikian, di kalangan tetangganyapun berkata yang sama. Oleh karena itu, menurut mereka, sangat tidak mungkin Arifinto sengaja melakukan hal yang tidak etis itu.
Demikian pula dengan pengakuan Arifinto diberbagai media, bahwa dia tidak sengaja membuka link itu. Dia tidak tahu apa isi situs tersebut karena merupakan kiriman email. Dia hanya membuka email dan mengklik link hanya dalam tempo beberapa menit. Pada saat itulah kamera wartawan mengarah pada laptopnya. Kejadian ini menurut Arifinto adalah ketidaksengajaan.
Satria
Sengaja atau tidak, hanya Tuhan dan Arifinto sendiri yang tahu. Satu yang pasti, Arifinto memilih bersikap Satria dengan mengundurkan diri dari anggota DPR. Sesuatu yang tidak pernah terjadi di Indonesia, mundur dari jabatan karena sesuatu yang bermakna 'kegagalan' sedang mengarah padanya.
Yang terjadi selama ini, meskipun sudah terang-terangan gagal mengemban amanah, terlebih pada pejabat yang tersangkut kasus korupsi, lebih memilih mempertahankan jabatannya ketimbang berjiwa besar. Malah ada Walikota yang melantik pejabatnya di balik jeruji besi.
Kita belum pernah mendengar ada pejabat gagal yang memilih mundur karena pertanggung jawaban moral. Mata kita belum pernah melihat pejabat yang meninggalkan jabatannya karena malu dinilai tidak berhasil. Jangankan mundur sendiri, didesak mundurpun dengan gelombang demonstrasi tidak membuat mereka beringsut dari posisinya.
'Budaya malu' sedang dicontohkan oleh Arifinto di tengah gersangnya 'budaya malu' di republik ini. Budaya malu menjadi kering kerontang ditelan perburuan tahta, ambisi, dan kepentingan. Kita bahkan asing dengan keputusan mundur yang di tempuh Arifinto.
Erosi terhadap kebudayaan yang diwariskan nenek moyang kita perihal 'baik - buruk' dan 'benar - salah', menjadikan manusia-manusia di abad ini menjelma bagai singa lapar, menghalalkan segala cara demi pemenuhan ambisi. Batas antara baik-buruk dan benar-salah makin bias. Yang buruk bisa berubah menjadi baik dengan polesan argumentasi. Lihatlah rencana pembangunan Gedung Baru DPR yang seolah dipaksa dirasionalisasikan menjadi 'baik'. Akibatnya, rasa malu kian terkikis dan terlempar ke dunia tak berpenghuni.
Kita patut mengapresiasi keputusan mengundurkan diri Arifinto. Sebuah sikap yang menurut saya pantas dapat pujian. Sikap satria yang nyaris tenggelam di tengah tsunami keangkuhan elit.
Semoga ini dapat menjadi tonggak kejiwa-besaran para elit negeri ini. Gagal melaksanakan tanggung jawab, mengundurkan diri adalah langkah terhormat.Belajarlah dari keputusan mundur Arifinto ... !!!