Pendar matahari pagi membias. Cahayanya merangsek masuk melalui kaca jendela kamar. Rupanya pagi tak lupa janjinya. Ia kembali datang menyapa semesta, meski sedikit tergopoh-gopoh. Ah ... kantuk ini masih enggan melepasku. Mengapa datang terburu-buru?
Sebuah aroma khas menggodaku, serupa bisikan untuk segera berucap selamat tinggal pada bantal dan selimut, juga pada rasa ngantuk. Ya ... itu aroma kopi hitam yang telah terhidang di meja. Kusambar ponsel yang tergeletak disampingku.
“Selamat Hari Kartini,” sebuah pesan menyasar layar ponselku.
“Oh ... Hari Kartini rupanya,” batinku.
Siapa Kartini?
Menurut catatan sejarah, ia bernama lengkap Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiingrat. Lahir di Mayong, Jepara, Jawa Tengah, pada 21 April 1879 silam. Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara kala itu. Kartini adalah keturunan ningrat. Beliau wafat pada 17 September 1904 di Rembang.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat menjadi Bupati pada usia 25 tahun. Pangeran Ario dikenal sebagai bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya.
Di usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Disinilah Kartini belajar Bahasa Belanda. Tapi, setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah. Meski berkeinginan melanjutkan sekolah, apa daya ia tak dapat izin dari orang tuanya. Sebagai seorang gadis, Kartini harus menjalani masa pingitan hingga sampai waktunya untuk menikah. Ini adalah tradisi yang harus dilakukan pada saat itu.
Beruntung, Kartini ada bekal sewaktu sekolah. Karena sudah bisa membaca, masa pingitan itu ia isi dengan banyak membaca koran, dan majalah Eropa. Dari sini ia tertarik dengan kemajuan berpikir perempuan Eropa.
Sebagai buah dari aktivitas membacanya, ia kemudian menemukan banyak sahabat pena yang alamatnya ditemukan dari koran dan majalah Eropa yang dibacanya. Aktivitas Kartini bertambah. Ia mulai menulis surat untuk sahabat penanya itu. Salah satunya bernama Rosa Abendanon.
Pada surat itu Kartini curhat, menumpahkan segala kepenatan pikiran. Ia ingin seperti wanita Eropa. Berpikir maju dan memiliki hak yang setara dengan kaum lelaki. Inilah yang pada akhirnya kemudian dikenal dengan perjuangan emansipasi wanita, yakni sebuah perjuangan menuntur hak kesetaraan gender.