“Jika Presiden Jokowi marah, para menteri bisa dibuang ke laut,” kata Ruhut menanggapi kegaduhan kabinet yang sering terjadi belakangan ini. Kalimat Ruhut yang tiba-tiba bijak ini memang patut dipertimbangkan oleh para menteri. Pasalnya, jika terus ribut dan gaduh masyarakat akan semakin percaya tentang lemahnya kemampuan leadership Jokowi sebagai presiden.
Peringatan presiden kepada para menterinya agar menghentikan kegaduhan dianggap seperti angin lalu. Gaduh dan kebisingan masih terus berlanjut. “tidak boleh bersilang pendapat di luar sidang kabinet ataupun rapat terbatas," ujar juru bicara presiden, Johan Budi, di Kompleks Istana Negara, Rabu, 2 Maret 2016, (Tempo).
Kegaduhan teranyar yang melibatkan Menteri ESDM, Sudirman Said dengan Menko Kemaritiman, Rizal Ramli, adalah terkait pembangunan kilang minyak di Blok Masela, Maluku Utara. Sudirman menginginkan kilang itu di bangun mengapung di atas laut, sementara Rizal meminta kilang dibangun di darat, kerena biayanya lebih rendah, di samping berefek secara langsung pada peningkatan ekonomi masyarakat sekitar.Berdasarkan kajian Kementerian Koordinator Maritim dan Sumber Daya, biaya pembagunan kilang darat (onshore) sekitar US$ 16 miliar. Sedangkan jika dibangun kilang apung di laut (offshore), biayanya mencapai US$ 22 miliar. Dengan demikian, kilang di darat US$ 6 miliar lebih murah dibandingkan dengam kilang di laut.
Angka ini sangat berbeda dengan perkiraan biaya dari Inpex dan Shell. Mereka menyatakan, pembangunan kilang offshore hanya US$ 14,8 miliar. Sedangkan pembangunan kilang di darat mencapai US$ 19,3 miliar.
“Inpex dan Shell telah membesar-besarkan biaya pembangunan kilang di darat. Sebaliknya, mereka justru mengecilkan biaya pembangunan di laut. Untuk memastikan kebenarannya, kita tantang mereka. Jika ternyata biaya pembangunan di laut membengkak melebihi US$ 14,8 miliar, maka Inpex dan Shell harus bertanggung jawab membiayai kebihanannya. Tidak boleh lagi dibebankan kepada cost recovery. Faktanya Inpex tidak berani. Ini menunjukkan mereka sendiri tidak yakin dengan perkiraan biaya yang mereka buat,” papar Rizal Ramli. (Beritasatu.com)
***
Siapa yang benar di antara keduanya? Apakah Rizal Ramli atau justru Sudirman Said? Apa pula yang menjadi motif Sudirman Said ngotot membangun kilang di atas laut? Bagaimana kalkulasinya? Apakah menyangkut tentang keuntungan pribadi? Bisa saja seperti itu. Karena tidak tahu detil permasalahannya sehingga mungkin saja saya salah, tapi naluri saya cenderung mempercayai kata-kata Rizal Ramli. Saya melihat integritas Rizal selama ini yang selalu ingin mempersembahkan karya terbaik untuk bangsa. Bukan dengan motif ini dan itu.
Saya menduga Rizal Ramli membuka persoalan ini ke ruang publik sebagai upaya untuk mengimbangi “permainan-permainan” yang sedang terjadi dalam kabinet. Dengan begitu, publik akan tahu kisah yang sebenarnya, dibanding jika perseteruan itu hanya terus berlangsung dalam pengapnya ruang kabinet. Seperti halnya kisah pembangkit listrik 35.000 MW di masa lalu, yang juga melibatkan Rizal dan Sudirman. Kemudian, soal perpanjangan kontrak Freeport yang sekali lagi melibatkan keduanya.
Cerita lain soal kegaduhan kabinet di republik ini sebagaimana yang dicatat Kompas adalah soal impor beras yang melibatkan Menteri Pertanian Amran Sulaiman dengan Menteri Perdagangan Thomas Lembong. Amran mengatakan setahun kepemimpinannya Indonesia tidak lagi mengimpor beras. Tapi menurut Thomas, pihaknya sementara dalam tahap negosiasi terkait rencana impor beras dari Vietnam dan Thailand.
Cerita berikutnya adalah soal kereta cepat, beda pendapat antara Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno. Rini mendorong percepatan proyek. Namun, Jonan berusaha menjaga agar tidak ada hal yang dilanggar terkait perizinan yang belum jelas dari proyek ini.
Kemudian soal Garuda Indonesia, polemik antara Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Marwan Jafar dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung terkait pernyataan Marwan yang meminta direksi Garuda Indonesia diganti karena dinilai mengecewakan. Pramono kemudian menyindir lewat media sosial bahwa masih ada pejabat yang minta dilayani berlebihan.