Siapa yang tidak kenal Ahok? Ahok alias Basuki Tjahja Purnama adalah manusia unik yang kini menjadi Gubernur di Ibu kota negara. Manusia yang tidak segan berkomentar pedas terhadap sesuatu yang menurutnya tidak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar. Manusia yang tidak takut bersebelahan dengan partai politik. Manusia etnis minoritas yang sukses menduduki jabatan yang mensyaratkan dukungan mayoritas. Manusia yang pernah menantang BPK untuk mengaudit semua harta pejabat negara. Manusia yang pernah menantang Ketum FPI untuk duel satu lawan satu. Itulah Ahok, manusia yang tidak peduli dengan apapun tanggapanmu kepadanya.
Tahun depan, Ahok dikabarkan akan kembali maju di Pilkada DKI. Bisakah Ahok menang? Bisa “Iya” bisa juga “Tidak” ... karena hanya memang dua kemungkinannya, kalau bukan “menang” ya “kalah” ... hehehe. Tulisan ini bukan untuk membahas soal menang atau tidak menang, tetapi lebih pada kamus kehidupan politik Ahok yang terkesan menunjukkan bahwa ia tidak butuh partai politik.
Kamus politik itu pertama kali dirangkai Ahok pada 11 September 2014 silam. Ketika itu, ia menyatakan diri keluar dari Partai Gerindra. Sikap itu ditempuh Ahok untuk membuktikan ancamannya kepada Partai Gerindra yang ketika itu mendukung pilkada kembali ke DPRD. Menurut Ahok, mengembalikan pilkada ke DPRD adalah langkah mundur demokrasi. “Jika saja pilkada melalui DPRD saya tidak mungkin bisa jadi wakil gubernur yang akhirnya jadi gubernur,” kata Ahok ketika itu.
Sikap Ahok menjadi tamparan keras, tidak hanya kepada Partai Gerindra tetapi juga partai politik lain. Karena substansi yang ingin disampaikan Ahok adalah tanpa partai politik saya bisa eksis dalam dunia politik. Sikap Ahok ini semacam ajakan kepada kepada masyarakat untuk tidak perlu bergantung pada partai politik.
Konsistensi sikap Ahok diuji ketika diperhadapkan pada proses politik dalam pembahasan APBD DKI 2015. Ada gelagat DPRD DKI akan mengganjal Ahok, dengan mempersulit pembahasan APBD. Namun, bukan Ahok kalau tidak melawan, ia menantang DPRD DKI. Masalah ini berlarut, hingga hampir setiap hari TV nasional menayangkan perseteruan politik yang terjadi di DKI. Ujung dari proses ini adalah upaya DPRD DKI untuk menjatuhkan Ahok dari posisi gubernur. Sayang sekali, skenario yang dibangun oleh koalisi parpol ini gagal total. Ahok hingga saat ini masih cuap-cuap sebagai Gubernur kota banjir alias Jakarta.
Dalam persiapan pencalonannya sebagai Cagub DKI 2017, Ahok merencanakan jalur independen. Data yang dirilis Kompas.com (http://megapolitan.kompas.com/read/2015/12/19/12545101/Teman.Ahok.Dukungan.KTP.untuk.Ahok.Sudah.Lewati.Suara.8.Parpol) menyebutkan bahwa jumlah KTP yang sudah dikumpulkan Teman Ahok sudah mencapai 500.000 lembar. Jumlah ini sudah mengungguli perolehan suara delapan partai politik pada pemilu 2014, kecuali PDIP yang meraup suara 592.568 suara.
Ada yang aneh. Jika angka 500.000 lembar KTP itu nyata, sungguh luar biasa. Ini bukan angka yang kecil. Pertanyaannya, sebanyak itukah warga DKI yang menginginkan Ahok kembali jadi gubernur? Jika benar, maka partai politik sebaiknya berbenah. Karena fenomena ini menunjukkan bahwa rakyat tidak butuh partai politik. Rakyat bahkan tidak peduli dengan omongan kasar Ahok.
Dalam budaya Betawi yang terkenal lembut, omongan kasar yang mengabaikan etika berbicara bisa menjadi persoalan serius. Di Makassar, omongan kasar nan arogan bisa menjadi pemicu badik keluar dari sarungnya, sebab dalam paham Makassar, pertumpahan darah menjadi halal jika itu menyangkut “Siri na pace”. Di Indonesia, hampir berlaku umum sebuah paham bahwa ketika anda memulai dengan omongan kasar, maka dianggap sebagai tantangan, yang bisa berujung pada kematian.
Tapi hal ini tidak berlaku bagi Ahok.Omongan kasar Ahok tidak menjadi soal bagi 500.000 orang yang ber-KTP DKI dengan menginginkan Ahok kembali jadi pemimpin di daerah seluas 664,01 Km2 dan berpenduduk 9.988.495 jiwa itu. Setengah juta penduduk DKI mau Ahok kembali jadi gubernur.
Sebesar itukah kebencian rakyat DKI kepada partai politik? Benar atau tidak, bijak jika fenomena ini dijadikan koreksi bagi partai politik untuk berbenah. Partai politik harus berguna bagi rakyat dengan mengagregasi aspirasi yang kemudian dirumuskan dalam bentuk usulan kebijakan publik. Jika tidak, maka kepercayaan rakyat akan semakin terkoyak dan fenomena Ahok-Ahok lain akan bermunculan di Indonesia. Selanjutnya, tidak perlu disebutkan, kiamat bagi partai politik.
Di tengah ketidak-berdayaan dihadapan Ahok, gelagat partai politik malah semakin menggelikan. Diberitakan Eko Patrio, Desi Ratna Sari, Ahmad Dani, dan beberapa artis lain sedang dipersiapkan untuk melawan Ahok di Pilkada DKI 2017 mendatang. Tidak bermaksud meragukan kemampuan mereka, maupun menegasikan hak-hak politik para artis ini, tetapi ini soal nasib puluhan juta rakyat DKI. Ini bukan panggung idola, sinetron, atau lawakan. Hidup mati rakyat akan sangat bergantung pada bagaimana kemampuan pemimpinnya.