Setiap pagi, ritual yang sama terulang. Membuka mata, meraih ponsel, dan mulai menggeser layar - menelusuri feed media sosial yang tak berujung. Kita melihat sarapan tetangga, liburan teman sekelas, promosi rekan kerja, bahkan momen pertunangan mantan kekasih. Tanpa sadar, kita telah menjadi pengunjung setia galeri kehidupan orang lain, sekaligus kurator aktif galeri kehidupan kita sendiri.
Media sosial telah mengaburkan batas antara ruang pribadi dan ruang publik. Kamar tidur yang dulunya sangat personal kini bisa menjadi latar belakang video TikTok. Percakapan intim dengan pasangan bisa berubah menjadi konten Instagram Story. Bahkan tangisan dan kesedihan pun dikemas dalam bentuk status Facebook yang mengundang simpati. Pertanyaannya: apakah kita masih memiliki ruang yang benar-benar pribadi?
Paradoks media sosial terletak pada keinginan kita untuk terlihat terbuka namun tetap terkontrol. Kita ingin membagikan kehidupan kita, tetapi hanya versi yang sudah melalui proses kurasi ketat. Foto-foto diambil berulang kali hingga mendapatkan angle sempurna. Caption ditulis dan diedit berkali-kali untuk memastikan kesan yang tepat. Kita adalah kurator yang sangat teliti untuk galeri kehidupan kita sendiri.
Namun, di balik kesempurnaan galeri digital ini, ada harga yang harus dibayar. Kecemasan sosial meningkat karena tekanan untuk selalu terlihat baik-baik saja. Depresi mengintai karena membandingkan kehidupan kita dengan highlight reel kehidupan orang lain. Fear of Missing Out (FOMO) menjadi momok yang menghantui generasi digital. Kita lupa bahwa galeri yang kita lihat hanyalah sepotong kecil dari realitas yang jauh lebih kompleks.
Fenomena oversharing juga menjadi masalah tersendiri. Beberapa orang membagikan detail intim kehidupan mereka tanpa filter - dari pertengkaran keluarga hingga masalah kesehatan mental. Meski niat awalnya mungkin untuk mencari dukungan atau menginspirasi, tetapi seringkali batasan antara keterbukaan yang sehat dan ekshibisionisme digital menjadi kabur.
Di sisi lain, media sosial juga telah menciptakan peluang baru dalam berkarya dan berekspresi. Seniman dapat memamerkan karyanya tanpa perlu galeri fisik. Penulis dapat membagikan tulisannya tanpa perlu penerbit. Aktivis dapat menyuarakan advokasi mereka tanpa perlu podium. Media sosial telah menjadi galeri demokratis yang membuka pintu bagi siapa saja untuk menunjukkan bakat dan pemikirannya.
Lantas, bagaimana kita menyikapi dualitas media sosial ini? Mungkin jawabannya terletak pada keseimbangan dan kesadaran. Kita perlu memahami bahwa media sosial hanyalah alat - bukan identitas kita yang sesungguhnya. Kita perlu bijak dalam memilih apa yang dibagikan dan apa yang dijaga tetap pribadi. Yang terpenting, kita perlu ingat untuk sesekali "logout" dari galeri digital ini dan menikmati momen-momen hidup tanpa merasa perlu mendokumentasikannya.
Pada akhirnya, media sosial akan tetap menjadi bagian dari kehidupan modern kita. Namun, kitalah yang menentukan apakah ia akan menjadi galeri yang memamerkan topeng-topeng digital, atau menjadi ruang ekspresi yang autentik dan bermakna. Pilihan ada di tangan kita - untuk membagikan atau menyimpan, untuk memamerkan atau merenung, untuk menjadi kurator yang bijak dari galeri kehidupan kita sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI