Awal tahun 2025 ditandai dengan meningkatnya perhatian publik terhadap fenomena bunuh diri di Indonesia, terutama melalui media sosial. Fenomena ini memerlukan kajian mendalam mengingat kompleksitas faktor penyebab dan dampaknya yang luas terhadap Melalui artikel ini, saya akan menganalisis tren bunuh diri di Indonesia dengan mengintegrasikan berbagai perspektif dan hasil penelitian terkini.
a. Tren Global dan Nasional
Menurut data World Health Organization (WHO), lebih dari 800.000 kasus bunuh diri terjadi setiap tahunnya di seluruh dunia. Di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), terdapat 921 kasus yang tercatat, dengan konsentrasi tertinggi pada kelompok usia produktif.
Dr. Dadang Hawari, dalam bukunya "Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi" (2018), mengungkapkan bahwa angka bunuh diri di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya, dengan faktor ekonomi dan sosial sebagai pemicu utama. Penelitian ini sejalan dengan temuan Yurika Fauzia Wardhani dari BRIN yang menganalisis kasus bunuh diri dari tahun 2012 hingga 2023.
b. Faktor Risiko Berdasarkan Kelompok Usia
1. Remaja dan Dewasa Muda
Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Tyas Kusuma dari Universitas Indonesia (2022) mengidentifikasi beberapa faktor risiko utama pada kelompok usia ini:
- Tekanan akademis dan ekspektasi sosial yang tinggi
- Perubahan hormonal dan ketidakstabilan emosi
- Bullying dan cyberbullying
- Konflik keluarga
- Krisis identitas
- Akses terbatas terhadap layanan kesehatan mental
2. Lansia
Studi longitudinal yang dilakukan oleh Tim Peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (2023) mengungkapkan faktor-faktor berikut:
- Isolasi sosial dan kesepian
- Penyakit kronis
- Keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan
- Penurunan fungsi kognitif dan fisik
3. Gender dan Bunuh Diri
Prof. Dr. Irwanto dari Universitas Atma Jaya (2024) dalam penelitiannya tentang maskulinitas dan kesehatan mental menemukan bahwa angka bunuh diri yang lebih tinggi pada laki-laki berkaitan erat dengan konstruksi sosial maskulinitas dalam budaya patriarki Indonesia. Tekanan untuk selalu terlihat "kuat" dan "tegar" membatasi akses laki-laki terhadap dukungan emosional dan profesional.