Di ujung timur Indonesia, tersimpan sebuah cerita yang tak terlihat oleh mata kebanyakan orang. Cerita tentang pendidikan di Sumba, sebuah wilayah yang lebih dari sekadar titik di peta, melainkan miniatur pergulatan sistem pendidikan nasional yang kompleks dan menantang.
Ketika kita membicarakan pendidikan di Sumba, kita tidak sedang berbicara tentang statistik atau bangunan sekolah. Kita berbicara tentang masa depan yang sedang dipertaruhkan, tentang jutaan anak Sumba yang menanti kesempatan untuk mengubah takdir mereka melalui pendidikan. Potret pendidikan di sini ibarat sebuah lukisan yang masih setengah jadi, penuh warna yang belum sepenuhnya terwujud.
Temuan INOVASI dalam sebuah penelitian, mengungkap realitas yang mengejutka, dimana hanya 42% guru yang memiliki kualifikasi sarjana pendidikan. Angka ini bukan sekadar deretan digit, melainkan gambaran nyata tentang kompleksitas tantangan yang dihadapi. Setiap persen mewakili kisah guru-guru yang berjuang di garis terdepan pendidikan, dengan semangat yang tak terbendung meski terbatas kapasitas.
Para guru di Sumba adalah pahlawan sejati yang jarang mendapat pengakuan. Mereka mengajar di ruang-ruang kelas sederhana, dengan metode konvensional yang masih mendominasi atau lebih dari 60% proses pembelajaran masih bergantung pada ceramah. Namun, di balik keterbatasan ini, tersimpan potensi luar biasa. Pendidikan bukanlah sekadar transfer pengetahuan, melainkan proses pembangkitan api kreativitas yang tersembunyi.
Infrastruktur menjadi cermin ketimpangan yang nyata. Hanya 35% sekolah memiliki fasilitas perpustakaan dan ruang multimedia yang memadai. Namun, angka ini tidak boleh mematahkan semangat. Sebuah perpustakaan di Sumba bukanlah sekadar ruangan dengan rak buku, melainkan portal menuju dunia pengetahuan tanpa batas, jendela yang membuka cakrawala berpikir bagi anak-anak Sumba.
Tantangan literasi menghadirkan realitas paling menusuk. 45% siswa sekolah dasar di Sumba masih bergulat dengan huruf dan kalimat. Setiap kata yang sulit dieja, setiap kalimat yang tersendat adalah pertanda bahwa sistem pendidikan membutuhkan transformasi mendasar. Bukan sekadar perbaikan kosmetik, melainkan rekonstruksi total.
Transformasi membutuhkan pendekatan holistik. Revitalisasi guru melalui program sertifikasi berkelanjutan, pengembangan kurikulum yang mengintegrasikan pengetahuan global dengan kearifan lokal, serta pembangunan infrastruktur digital bukan sekadar mimpi, melainkan keniscayaan.
Sumba adalah miniatur harapan. Wilayah ini tidak boleh dipandang sebagai terminal akhir, melainkan titik awal perjalanan panjang menuju pencerahan. Setiap anak Sumba adalah potensi yang menunggu untuk dinyalakan, setiap ruang kelas adalah laboratorium transformasi sosial.
Pendidikan adalah peluru paling ampuh melawan kemiskinan, ketidakberdayaan, dan keterbatasan. Di Sumba, peluru ini sedang kita persiapkan dengan keyakinan bahwa setiap anak memiliki hak untuk tumbuh, berkembang, dan pada akhirnya, bersinar.
Inilah saatnya kita tidak sekadar berbicara tentang pendidikan, tetapi bertindak. Sumba menunggu, dan masa depan sedang memandang kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H