Mohon tunggu...
Irwan Sabaloku
Irwan Sabaloku Mohon Tunggu... Editor - Penulis

"Menulis hari ini, untuk mereka yang datang esok hari"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengakhiri Belenggu Nepotisme, Membuka Pintu Meritokrasi

10 Juni 2024   15:57 Diperbarui: 10 Juni 2024   15:58 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik kilauan prestise dunia korporat, terselip sebuah fenomena menjengkelkan yang telah menjadi rahasia umum "nepotisme". Praktik mengutamakan hubungan istimewa daripada kemampuan ini ibarat penyakit kronis yang menggerogoti iklim kerja di Indonesia. Bak kanker ganas, nepotisme menyebar dari proses rekrutmen hingga promosi karier, menciptakan nuansa ketidakadilan yang membelenggu potensi para talenta sejati.

Bayangkan Anda seorang lulusan berprestasi, melewati seleksi dengan gemilang, namun pada akhirnya kalah dari sang "Orang Dalam" yang hanya mengandalkan koneksi. Atau Anda sebagai karyawan teladan, bekerja keras melampaui target, namun rekan ber-"backing" kuat lebih diutamakan untuk promosi. Fenomena ini ibarat tamparan keras bagi mereka yang menganut prinsip meritokrasi murni -- rezeki dari kerja keras dan talenta, bukan siapa yang kau kenal.

Dampaknya? Perusahaan kehilangan sumber daya terbaik, produktivitas terhambat. Lingkaran setan nepotisme memutar, mencekik kesempatan mereka yang tak berkoneksi meski berpotensi tinggi.

Iklim kerja pun terkontaminasi, karyawan merasa tak dihargai atas prestasi, melainkan soal "siapa" mereka. Praktik busuk ini bahkan menjalar ke ranah pemerintahan, membusukkan proses pengisian jabatan strategis.

Meski dalam konteks tertentu, seperti bisnis keluarga, nepotisme masih dapat ditolerir, namun dalam skala besar, fenomena ini sarat masalah.

Perusahaan besar dan institusi pemerintah yang seharusnya menjadi teladan justru kerap terjangkit penyakit kronis ini. Nyatanya, di negeri ini, koneksi kerap mengalahkan kompetensi.

Jalan keluarnya? Perusahaan harus membangun sistem rekrutmen/ promosi transparan dan objektif/ murni berbasis merit. Pemerintah mesti menegakkan regulasi antikorupsi dan -nepotisme dengan disiplin tinggi. Masyarakat turut berperan menumbuhkan kesadaran meritokrasi sejak dini.

Sudah tiba masanya mengusir hantu nepotisme yang menggerogoti kemajuan bangsa. Hanya dengan menumbuhkan iklim meritokrasi sejati, pintu kesuksesan akan terbuka bagi para talenta terbaik bangsa, bukan sekadar mereka yang berkoneksi baik. Dengan begitu, pijakan Indonesia menuju negara maju akan semakin kokoh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun