Dinasti politik kerap menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Fenomena ini diartikan sebagai keluarga atau kerabat tertentu yang mendominasi jabatan-jabatan politik strategis, baik di tingkat nasional maupun daerah.Â
Dinasti politik seringkali dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi karena dianggap menghambat sirkulasi kepemimpinan dan membuka peluang bagi praktik nepotisme. Namun, di sisi lain, ada pula yang berpendapat bahwa dinasti politik merupakan sebuah kewajaran dalam sistem demokrasi kita.
Kita patut mengapresiasi upaya pemerintah dalam menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang melarang praktik dinasti politik. Pasal 240 ayat (1) huruf g menyatakan bahwa pasangan calon dilarang memiliki hubungan darah, semenda, atau hubungan perkawinan dengan petahana.Â
Namun, pasal ini hanya berlaku untuk pemilihan kepala daerah, sedangkan untuk pemilihan legislatif dan presiden tidak ada aturan khusus yang melarang dinasti politik.
Meskipun begitu, kita perlu mengakui bahwa dinasti politik bukanlah fenomena baru dalam perpolitikan Indonesia. Sejak era Orde Baru, kita sudah menyaksikan beberapa keluarga yang mendominasi kekuasaan politik, bahkan hingga saat ini.Â
Contohnya adalah keluarga Cendana yang menguasai panggung politik nasional selama lebih dari tiga dekade, keluarga Atut yang menguasai Banten, serta keluarga SYL yang menguasai Sulawesi Selatan.
Dalam konteks demokrasi, dinasti politik sebenarnya bukan masalah jika proses pemilihan umum berjalan secara jujur, adil, dan transparan. Rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin yang mereka inginkan, termasuk dari kalangan keluarga atau kerabat tertentu. Namun, yang menjadi persoalan adalah jika dinasti politik dibangun melalui praktik-praktik korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Oleh karena itu, upaya untuk mencegah dinasti politik harus dilakukan secara komprehensif. Selain memperkuat regulasi, kita juga perlu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses politik, memperkuat lembaga-lembaga demokrasi, serta menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemilu.Â
Dengan begitu, rakyat dapat membuat pilihan yang bebas dan rasional, tanpa terpengaruh oleh praktik-praktik tidak demokratis.
Dinasti politik bukanlah ancaman bagi demokrasi jika dibangun melalui proses yang benar dan didasarkan pada kepercayaan rakyat. Namun, jika dinasti politik dibangun melalui cara-cara yang tidak demokratis, maka hal tersebut dapat menjadi ancaman bagi prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.Â
Oleh karena itu, kita harus terus memperkuat sistem demokrasi kita agar dapat mencegah praktik-praktik tidak demokratis, termasuk dinasti politik yang dibangun melalui cara-cara yang tidak benar.