Mohon tunggu...
Irwan Sabaloku
Irwan Sabaloku Mohon Tunggu... Editor - Penulis

"Menulis hari ini, untuk mereka yang datang esok hari"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tapera, Solusi ataukah Beban Baru bagi Pekerja?

2 Juni 2024   08:59 Diperbarui: 2 Juni 2024   09:00 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Penerapan program Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) yang baru saja dicanangkan pemerintah telah memicu perdebatan sengit di kalangan pekerja dan pemangku kepentingan. Skema ini mengharuskan setiap pekerja dengan penghasilan di atas upah minimum regional (UMR) untuk menyisihkan 3 persen dari gaji bulanannya sebagai tabungan wajib untuk kepemilikan rumah. Meski niat baik untuk menjamin akses perumahan bagi masyarakat patut diapresiasi, namun pelaksanaan Tapera perlu dikaji ulang secara seksama.

Pada prinsipnya, tersedianya akses perumahan yang terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat merupakan hak asasi yang harus dipenuhi. Namun, penerapan Tapera dengan memotong gaji pekerja secara otomatis tampaknya kurang bijak dan berpotensi menimbulkan beban baru bagi mereka, terutama di tengah kondisi ekonomi yang masih belum stabil pascapandemi.

Pertama, pemotongan gaji 3 persen secara paksa dapat memberatkan pekerja, khususnya yang berpenghasilan rendah. Meskipun besarannya mungkin terkesan kecil, namun bagi mereka yang hidup dengan gaji pas-pasan, pemotongan tersebut dapat berdampak signifikan terhadap daya beli dan kualitas hidup. Alih-alih membantu, Tapera justru berpotensi menjadi beban tambahan yang memperketat kondisi keuangan pekerja.

Kedua, program ini cenderung mengabaikan keberagaman situasi dan kebutuhan individu. Tidak semua pekerja memiliki keinginan atau kemampuan untuk membeli rumah dalam waktu dekat. Beberapa mungkin lebih membutuhkan sumber daya untuk membiayai pendidikan anak, perawatan kesehatan, atau investasi lain yang lebih mendesak. Memaksa mereka untuk menyisihkan tabungan wajib tanpa mempertimbangkan prioritas masing-masing terkesan kurang memihak pada kepentingan pekerja.

Ketiga, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana Tapera juga perlu diperhatikan. Masyarakat berhak mendapatkan jaminan bahwa dana yang dipotong dari gaji mereka akan dikelola secara profesional, aman, dan menguntungkan. Pengalaman pahit dari program sejenis di masa lalu, seperti kasus pencurian dana Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), tidak boleh terulang kembali.

Terlepas dari niat baik di baliknya, pelaksanaan Tapera perlu dievaluasi kembali secara menyeluruh. Pemerintah harus terbuka untuk mendengarkan masukan dari berbagai pihak, terutama para pekerja yang langsung terdampak oleh kebijakan ini. Solusi alternatif, seperti insentif pajak atau subsidi perumahan, mungkin lebih efektif dan adil dalam memfasilitasi kepemilikan rumah bagi masyarakat.

Pada akhirnya, pemenuhan hak atas perumahan layak harus dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan seluruh lapisan masyarakat. Tapera mungkin bermaksud baik, tetapi penerapannya yang tergesa-gesa dan kurang memperhitungkan dampak pada pekerja justru dapat menimbulkan masalah baru. Reformasi kebijakan yang lebih inklusif dan partisipatif sangat diperlukan agar program ini benar-benar dapat menjadi solusi bagi kemakmuran rakyat, bukan sekadar beban baru yang memperburuk kesejahteraan pekerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun