Sebuah gebrakan mencengangkan menggema dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 24 Februari lalu.
Keputusannya untuk menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai tempat pernikahan bagi semua penganut agama, tanpa terkecuali, telah menciptakan gelombang pro dan kontra yang menggetarkan ranah publik.
Pada intinya, inisiatif tersebut merupakan bagian dari upaya besar untuk memperluas peran dan fungsi KUA.
Yaqut Cholil Qoumas berkeyakinan bahwa KUA, sebagai sentra pelayanan keagamaan, haruslah mampu melayani semua agama dengan adil dan merata.
Kehadiran KUA sebagai tempat pencatatan pernikahan dari berbagai agama diharapkan akan membawa integrasi data pernikahan dan perceraian yang lebih baik.
Dibalik semangat menyatukan pelayanan keagamaan, rencana tersebut juga menawarkan aula-aula KUA sebagai tempat ibadah sementara bagi umat non-Muslim yang kesulitan mendirikan rumah ibadah sendiri.
Hal ini tidak hanya merupakan upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan yang inklusif, tetapi juga menunjukkan semangat kebersamaan antar umat beragama.
Pendukung rencana tersebut, seperti Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, menganggap ide tersebut sebagai langkah maju dalam memberikan pelayanan yang sama kepada semua warga negara.
Konsep kesetaraan akses terhadap layanan keagamaan dianggap sebagai landasan utama bagi keberagaman Indonesia.
Namun, tak semua pihak menyambut hangat ide tersebut. Hidayat Nur Wahid dari PKS menyoroti potensi disharmoni yang bisa muncul jika KUA difungsikan sebagai tempat pernikahan bagi semua agama.