Bagaimana memastikan bahwa kebijakannya mencakup kedua aspek tersebut tanpa meninggalkan masyarakatnya sendiri? Dengan 44% pemilih memiliki pendidikan sampai SMA atau di bawahnya, kesulitan memahami dan menganalisis visi dan kebijakan capres dapat menjadi kendala serius.
Pertanyaannya menjadi semakin rumit: Bagaimana memenangkan pemilihan di tengah-tengah masyarakat dengan tingkat pendidikan yang bervariasi?
Dari perspektif saya pribadi, seorang calon presiden yang berhasil harus mampu menyampaikan pesannya dengan cara yang dapat dimengerti oleh semua lapisan masyarakat.
Selain itu, kebijakan dan program haruslah inklusif, menyentuh kebutuhan semua kalangan, dari yang paling terpelajar hingga yang memiliki pendidikan terbatas.
Polarisasi Politik dan Ancaman Terhadap Persatuan
Salah satu tantangan besar dalam pemilihan presiden adalah polarisasi politik yang semakin membesar.
Dalam konteks Indonesia, kita sering kali menyaksikan perpecahan antara pendukung yang berbeda. Sebutan "Gemoy" dan "wakanda" menjadi simbol polarisasi tersebut.
Polarisasi politik dapat memicu emosi negatif, termasuk kemarahan dan kebencian di antara warga.
Fenomena ini lebih mencolok dalam era digital, di mana setiap tindakan dan pernyataan dapat dengan cepat memicu reaksi berantai di media sosial. Polarisasi yang terlalu tajam bisa membahayakan persatuan bangsa.
Dalam memilih presiden, kita perlu melihat bagaimana seorang calon mencoba untuk menyatukan masyarakat, bahkan di tengah perbedaan pandangan politik.
Memilih pemimpin bukan hanya tentang memilih seseorang yang bisa memenangkan debat, tetapi juga seseorang yang dapat mempersatukan kita sebagai bangsa.
Saya yakin bahwa masyarakat Indonesia bisa melampaui perbedaan politik dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.