Tidak dapat dipungkiri, kehadiran Gibran di dunia politik adalah bagian dari transformasi politik di Indonesia. Ia mewakili pergeseran menuju kehadiran pemimpin yang tidak hanya memiliki rekam jejak di panggung politik tetapi juga pengalaman praktis dalam dunia usaha.
Namun, apakah pergeseran ini akan memadukan keahlian dan kepemimpinan dengan harmonis, ataukah akan menciptakan disonansi yang merugikan, adalah pertanyaan yang perlu dijawab.
Persepsi bahwa Gibran bukan lawan berat dalam debat cawapres mungkin menjadi pangkal dari berbagai spekulasi.
Untuk itu, jangan sampai kita terjebak dalam memandang sebatas permukaan. Kita perlu menggali lebih dalam untuk menilai apakah ada strategi tertentu yang akan diperlihatkan oleh Gibran Rakabuming Raka untuk membantah dan bahkan mengubah persepsi tersebut.
Strategi pertama yang patut diperhatikan adalah kemungkinan pemanfaatan rekam jejak bisnis Gibran.
Dengan menjadi tokoh yang sukses di dunia usaha, Gibran dapat mencoba menggambarkan bahwa kemampuannya dalam mengelola bisnis dapat diaplikasikan secara efektif dalam mengelola negara. Ini bisa menjadi landasan bagi argumen-argumen yang mengarah pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan kebijakan pro-bisnis yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Bukan berarti, strategi semacam ini tidaklah tanpa tantangan. Kritik mungkin muncul terkait dengan potensi interaksi antara kepentingan bisnis pribadi dan kebijakan nasional.
Masyarakat perlu melihat dengan kritis apakah keberhasilan bisnis Gibran dapat diartikan sebagai jaminan kemampuannya dalam mengelola kepentingan publik yang lebih kompleks.
Selain itu, peran strategis Gibran sebagai calon wakil presiden yang terkait erat dengan keluarga Presiden Joko Widodo juga dapat menjadi titik fokus.
Bagaimana ia merancang narasi politiknya untuk menjelaskan peran ini tanpa terkesan sebagai pewaris tahta?
Apakah Gibran dapat meyakinkan masyarakat bahwa keterkaitannya dengan Jokowi adalah aset yang dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan inovatif dan efektif?