Menuju Pemilu 2024, panggung politik menjadi arena yang menentukan takdir bangsa. Pertanyaan yang muncul begitu mendalam. "Apakah politik identitas akan menjadi kekuatan pendorong yang merajai nasib kita?" "Apakah kita menuju pada transformasi politik yang menggantikan isu-isu substansial dengan perebutan identitas?" Dalam refleksi ini, kita akan menyelami dampak yang ditimbulkan oleh politik identitas, mencoba merangkai pemahaman apakah ini sebuah evolusi yang diperlukan ataukah malah devolusi yang membayangi kesejahteraan bersama.
Politik identitas, semakin memikat sebagai magnet politik, menarik pemilih dengan mempertimbangkan karakteristik pribadi dan kelompok seperti suku, agama, dan gender. Meskipun memberikan rasa identitas dan kebersamaan, risikonya adalah semakin menguatnya kelompok-kelompok eksklusif yang dapat mengorbankan kesatuan nasional dan pemahaman bersama terhadap isu-isu krusial. Dalam beberapa hari menjelang Pemilu, nasib bangsa ini tergantung pada sejauh mana politik identitas akan menjadi kekuatan penentu, memandu arah politik dan kebijakan negara ke masa depan yang lebih bersatu atau lebih terpecah belah.
Salah satu risikonya adalah hilangnya substansi dalam diskusi politik. Kandidat dan partai politik cenderung menggoda pemilih dengan narasi identitas yang sederhana daripada mempresentasikan solusi konkret untuk masalah-masalah yang kompleks. Apakah kita akan melihat pemilu yang diwarnai oleh persaingan identitas yang memudarkan urgensi perdebatan tentang ekonomi, pendidikan, dan lingkungan?
Di satu sisi, pengakuan dan pemberdayaan kelompok-kelompok minoritas melalui politik identitas bisa menjadi langkah menuju inklusivitas dan keadilan. Namun, di sisi lain, risiko terpecah belahnya masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling bersaing untuk mendapatkan manfaat dan representasi politik.
Politik identitas juga dapat mengaburkan pandangan objektif terhadap kualifikasi seorang pemimpin. Dalam atmosfer politik yang dipenuhi dengan narasi identitas, aspek kinerja dan kompetensi dapat terabaikan. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah kita benar-benar menghargai kemampuan seorang pemimpin atau hanya terjebak dalam citra identitas yang dibangun oleh kampanye politik?
Selain itu, politik identitas bisa menjadi alat bagi pihak luar untuk memanipulasi proses politik dalam negeri. Negara-negara atau kelompok-kelompok tertentu dapat mencoba memanfaatkan ketegangan internal yang muncul dari politik identitas untuk kepentingan mereka sendiri, meningkatkan risiko konflik dan ketidakstabilan dalam negeri.
Bagaimana kita dapat memastikan bahwa politik identitas tidak menjadi bumerang yang merugikan bangsa ini?
Salah satu cara adalah melibatkan pemilih dalam diskusi yang berbasis pada fakta dan substansi. Pendidikan politik yang mendalam dan pendekatan rasional dalam memilih pemimpin dan partai dapat menjadi kunci untuk mengatasi ketidakseimbangan akibat politik identitas.
Dalam konteks ini, media memegang peran kunci. Tanggung jawab media adalah untuk memberikan informasi yang seimbang dan mendalam, memajukan wawasan publik, dan menghindari pencitraan berlebihan yang mungkin merusak esensi dari demokrasi itu sendiri.
Demokrasi yang sehat memerlukan keterlibatan aktif dari warganya. Oleh karena itu, penting untuk mendorong dialog terbuka dan menghargai beragam pendapat, tanpa harus terperangkap dalam perang identitas yang memecah belah. Dalam menghadapi pemilu 2024, masyarakat harus bersatu untuk menuntut transparansi, akuntabilitas, dan kualitas kepemimpinan yang sesuai dengan kebutuhan bangsa.