Pemilihan Umum Kepala daerah atau Pemilukada berlangsung secara sporadis berturut-turut. Tiap tahunnya beratus pemilukada dilaksanakan. Dari mulai pemilihan bupati atau walikota hingga pemilihan gubernur nerlangsung secara simultan.
Tetapi kemudian muncul pertanyaan menarik, apa yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa pemilukada. Karena hampir dalam peristiwa pemilukada yang dilakukan sarat dengan konflik berkepanjangan. Konflik dapat berujung gugatan sengketa pemilukada di Mahakamah Konstitusi (MK), atau yang terparah adalah konflik horizontal.
Perseteruan pihak-pihak yang bersengketa dan silang gugatan dalam pemilukada harus diakui menguras terlalu banyak energi. Bukan saja energi para kandidat, tetapi juga energi masyarakat dimana pemilukada itu berlangsung. Bukan hanya pikiran dan tenaga, tetapi juga finansial. Karena bahkan untuk mengurus suatu perkara gugatan pemilukada ke MK, seorang kandidat bisa menghabiskan dana ratusan juta sampai miliaran rupiah, hanya sekedar untuk membayar pengacara, mendatangkan saksi berikut akomodasi dan ’uang saku’. Tentu kita harus jujur menilai bahwa perlakuan hukum yang adil adalah sebuah hak, termasuk bagi kandidat-kandidat yang bertarung dalam pemilukada, terutama apabila mereka beranggapan hak suara mereka terampas oleh lawannya dengan cara yang menurut mereka curang. Tapi yang juga tak kalah penting adalah pemahaman tentang demokrasi para politikus yang berlaga dalam pemilukada masih sangat normatif dan celakanya masih hitam putih. Masih sangat jarang menemui kandidat yang bisa segera menerima suatu kekalahan, dan memilih jalan yang lebih bijak bagi kemaslahatan masyarakat.
Yang lebih ironis dan menjadi tragedi adalah ketika silang sengketa pemilukada dijadikan pijakan bagi para kandidat kepala daerah untuk menggerakkan massa pendukungnya dan akhirnya menyulut kerusuhan. Tentu saja akibat dari tindakan ini tak kalah merugikan. Tidak saja merugikan kocek sang kanddat tetapi juga mengakibatkan kerugian imaterial, yaitu hancurnya tatanan sosial dan moral masyarakat setempat karena kerusuhan yang mereka sulut.
Lalu siapa sebenarnya pihak-pihak yang berkepentingan dalam setiap pemilukada sehingga momentum politik itu menjadi seperti sebuah pertarungan hidup mati bagi para kandidatnya.
Mari kita petakan siapa saja yang berkepentingan dalam peristiwa pemilukada, selain daripada para kandidat. Yang pertama berkepentingan tentu saja adalah partai politik. Walaupun belakangan muncul para kandidat independen, tapi harus diakui peta pencalonan kepala daerah masih sangat didominasi oleh partai politik. Mereka mengintervensi pikiran para kandidat sejak dari hulu sampai ke hilir proses pemilukada. Bayangkan saja, partai politik memulai jejaringnya sejak seorang kandidat melakukan riset elektabilitas, mengajukan proses dukungan hingga sampai pemantauan proses pencoblosan dengan penyediaan saksi-saksi di TPS. Dalam proses ini saja sudah mulai terjadi pergulatan eksistensi, karena biasanya seorang kandidat tidak hanya mendekati satu parpol. Untuk memenuhi prasyarat peraturan perundang-undangan bisa saja seorang kandidat harus mencari dukungan 5 bahkan 6 parpol. Konflik pergulatan antar parpol tentu saja mulai terbuka. Belum lagi dalam tiap parpol sangat mungkin terjadi friksi internal berkaitan dengan distribusi logistik dan hal-hal lain sejenis. Setiap parpol sangat ingin menempatkan kader atau tokoh pilihannya duduk sebagai kepala daerah. Setidaknya kalaupun sang kepala daerah bukan berasal dari partainya maka parpol masih dapat menjadi stakeholder dalam 5 tahun masa jabatan sang kepala daerah. Sekali lagi ini berkait erat dengan logistik bagi pundi-pundi keuangan parpol tersebut untuk kepentingan pemilu lima tahunan.
Pihak kedua yang kemudian ikut menjadikan peristiwa pemilukada sebagai ajag pertarungan adalah para birokrat-birokrat lokal. Mereka adalah para kepala-kepala dinas dan atau pejabat tinggi di aparatur pemerintahan daerah setempat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemilukada yang dilaksanakan di suatu daerah kemudian memecah belah para birokrat lokal,terutama elit birokratnya, kedalam banyak kubu kandidat kepala daerah. Katakan ada 10 kepala dinas di suatu kabupaten dan ada 2 kandidat kuat kepala daerah disana, maka ke-10 kepala dinas itu dapat dipastikan tercerai berai dalam 2 kelompok besar kandidat dan secara otomatis menularkan perpecahan itu kepada bawahan masing-masing. Hal ini bahkan terjadi setahun sebelum pemilukada. Sudah pasti kegiatan birokrasi akan mengalami kepincangan dan segala sesuatu yang bersinggungan kepada pelayanan publik akan mengalami gangguan yang besarannya tergantung seberapa kuat konflik antar elit birokrat itu menggumpal. Dalam peristiwa pemilukada, keterlibatan kepentingan elit birokrat tentu saja berkepentingan dengan karier dan jabatan. Amat mudah ditebak bahwa seorang kepala dinas total mati-matian mendukung seorang kandidat kepala daerah adalah karena konsesi-konsesi politik berupa jabatan apabila sang kandidat berhasil memenangkan pertarungan. Celakanya, perilaku ini melanggar aturan main yang memberi rambu-rambu yang jelas tentang larangan birokrasi berpihak dalam pemilukada.
Pihak ketiga yang kerap muncul dalam variabel elemen yang terlibat berkepentingan di pemilukada adalah aparat kepolisian. Dalam banyak pemilukada, secara empiris keterlibatan kepolisian lokal, baik lembaga maupun perorangan para pimpinannya, sangat kerap terjadi. Tidak secara linear bahwa kepolisian lokal pasti memihak incumben. Banyak juga kasus dimana mereka justru berpihak pada lawan incumben, yang karena satu dan lain faktor dianggap lebih menguntungkan. Keterlibatan kepolisian lokal dalam pemilukada jelas adalah tragedi, karena di pundak merekalah pemilukada diharapkan dapat berlangsung secara jujur, adil dan aman. Lalu bagaimana itu semua bisa tercapai apabila sang pengawas permainan ikut serta dalam permainan. Keterlibatan kepolisian lokal jelas amat vital dan berbahaya karena dibawah kendali mereka surat suara dari TPS, PPS, PPK dan KPUD bisa termanipulasi karena ’dipacul’ ditengah jalan. Belum lagi apabila terjadi gesekan antar pendukung. Keterlibatan dan keberpihakan mereka akan sangat merugikan kandidat lain dan akhirnya terjadi diskriminasi perlakuan dan kesamaan hak dimata hukum ketika terjadi pelanggaran.
Dari ketiga pihak yang memiliki indikasi kuat terlibat dalam kerumitan peristiwa pemilukada tersebut itulah, kandidat kepala daerah bermain-main dalam strategi pemenangannya. Sepasang kandidat tentu akan sangat terbantu ketika berhasil memainkan ketiga simpul ini sebagai bagian dari sistem pemenangan mereka. Padahal tanpa disadari, ketiga pihak inipun memberikan dukungan bukan tanpa reserve, selalu ada kepentingan konsesi politik yang harus diraih.
Dalam situasi pemilukada macam ini, bagaimana demokrasi bisa meluncur deras dalam tata nilai moral kemanusiaan kita?
Irwan Suhanto, SH
Penulis adalah pemerhati demokrasi, di Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H